Photobucket

Rabu, 20 Februari 2008

RESPON ISLAM TERHADAP MULTI-KULTURALISME

Oleh : M. Ja’far Nashir

A. PENDAHULUAN

Perkembangan kebudayaan sekarang ini ............

Persoalan nilai pluralisme dan multikulturalisme merupakan tantangan utama yang dihadapi oleh agama-agama di dunia sekarang ini, mengingat setiap agama sesungguhnya muncul dari lingkungan keagamaan dan kebudayaan yang plural. Pada saat yang sama, para pemeluk agama-agama telah membentuk wawasan keagamaan mereka yang eksklusif dan bertentangan dengan semangat pluralisme dan multikulturalisme. Berbagai gerakan sering muncul dan sering menjadi sebab timbulnya wawasan dan perkembangan keagamaan baru. Dalam sejarah agama disebutkan bahwa pembaharu Budha muncul di tengah-tengah pandangan plural dari kaum Brahmais, Jaina, matrealistis, dan agnostis. Muhammad juga muncul di tengah-tengah masyarakat Mekah yang beragama terdiri dari komunitas Yahudi, Kristiani, Zoroaster, dan lainnya. Ibrahim dan Musa muncul dari lingkungan masyarakat yang menyembah berbagai macam dewa lokal.

Menyikapi bahwa Islam muncul di tengah-tengah multikulturalisme agama dan kebudayaan tersebut di atas, maka berbagai celah telah dilakukan sejak zaman Nabi Muhammad saw sampai dengan sekarang ini. Munculnya piagam Madina misalnya, merupakan alat yang menjembatani betapa pluralnya masyarakat pada saat itu. Ini adalah salah satu bentuk sikap Islam terhadap munculnya multikulturalisme di tengah-tengah peradaban masyarakat.

B. DEFINISI KUTUR (BUDAYA), PLURALISME, DAN MULTI-KULTURALISME

Berbicara tentang multikulturalisme tentunya tidak akan terlepas dari kultural dan pluralisme. Mungkin dalam kehidupan sehari-hari kita banyak menjumpai kata kultur (budaya), pluralisme, dan bahkan multikultural. Dalam makalah ini sebelum kita membahas tentang apa yang dimaksud dengan multikulturalisme, sekilas terlebih dahulu akan dijabarkan tentang apa yang dimaksud dengan kultur dan pluralisme.

a) Pengertian Kultur

Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia untuk memenuhi kehidupannya dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Untuk lebih jelasnya, dapat dirinci sebagai berikut : [1]

1. Bahwa kebudayaan adalah segala sesuatu yang dilakukan dan dihasilkan manusia. Karena itu meliputi :

a. Kebudayaan material (bersifat jasmaniah)

b. Kebuayaan non material

2. Bahwa kebudayaan itu tidak diwariskan secara generatif (biologis), melainkan hanya mungkin diperoleh dengan cara belajar.

3. Bahwa kebudayaan itu diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Yanpa masyarakat akan sukarlah bagi manusia untuk membentuk kebudayaan. Sebaliknya tanpa kebudayaan tidak mungkin manusia baik secara individual maupun masyarakat, dapat mempertahankan kehidupannya.

4. Jadi kebudayaan itu adalah kebudayaan manusia. Dan hampir semua tindakan manusia adalah kebudayaan, karena yang tidak perlu dibiaskan dengan cara belajar, misalnya tindakan atas dasar naluri (instink), gerak refleks. Sehubungan dengan itu kita perlu mengetahui perbedaan tingkah laku manusia dengan makhluk lainnya, khususnya hewan.

Sedangkan menurut E.B. Taylor (Bapak Antropologi Budaya) mendefinikan Budaya sebagai : ”Keseluruhan Kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan atau kebiasaan-kebiasaan lain yang diperoleh anggota-anggota suatu masyarakat[2]

Kebudayaan pada hakekatnya tidak terlepas dari komunikasi, dalam konssep ini maka kebudayaan (budaya) adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara for,al budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orangdari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok.

Budaya menampakkan diri dalam pola-pola bahasa dan dalam bentuk-bentuk kegiatan dan perilaku yang berfungsi sebagai model-model bagi tindakan-tindakan penyesuaian diri dan gaya komunikasi yang memungkinkan orang-orang tinggal dalam suatu masyarakat di suatu lingkungan geografis tertentu pada suatu tingkat perkembangan teknis tertentu dan pada suatu saat tertentu.

Budaya juga berkenaan dengan sifat-sifat dari objek-objek materi yang memainkan peranan penting dalam kehidupan sehari-hari. Objek-objek seperti rumah, alat dan mesin yang digunakan dalam industri dan pertanian, jenis-jenis transportasi, dan alat-alat perang, menyediakan suatu landasan utama bagi kehidupan sosial.

Budaya berkesinambungan dan hadir dimana-mana; budaya meliputi semua peneguhan perilaku yang diterima selama suatu periode kehidupan. Budaya juga berkenaan dengan bentuk dan struktur fisik serta lingkungan sosial yang mempengaruhi hidup kita. Sebagian besar pengaruh budaya terhadap kehidupan kita tidak kita sadari. Mungkin suatu cara untuk memahami pengaruh budaya adalah dengan membandingkannya dengan komputer elektronik; kita memrogram komputer agar melakukan sesuatu, budaya kita pun memrogram kita agar melakukan sesuatu dan menjadikan kita apa adanya. Budaya kita secara pasti mempengaruhi kita sejak dalam kandungan hingga mati – dan bahkan setelah mati pun kita dikuburkan dengan cara-cara yang sesuai dengan budaya kita.[3]

Oleh karena budaya memberi identitas kepada sekelompok orang bagaimana kita dapat mengidentifikasi aspek-aspek budaya yang menjadikan sekelompok orang sangat berbeda? Salah satu caranya adalah dengan menelaah kelompok dan aspek-aspeknya, antara lain :[4] Komunikasi dan Bahasa, Pakaian dan Penampilan, Makanan dan Kebiasaan Makan, Waktu dan Kesadaran Akan Waktu, Penghargaan dan Pengakuan, Hubungan-hubungan, Nilai dan Norma, Rasa Diri dan Ruang, Proses Mental dan Belajar, dan Kepercayaan dan Sikap.

b) Pengertian Pluralisme

Pengertian tentang pluralisme dapat dilihat dari definisi berbagai tokoh sebagaimana berikut ini. Josh McDowell menjelaskan mengenai definisi pluralisme ada dua macam; Pertama, pluralisme tradisional (Social Pluralism) yang kini disebut "negative tolerance". Pluralisme ini didefinisikan sebagai "respecting others beliefs and practices without sharing them" (menghormati keimanan dan praktik ibadah pihak lain tanpa ikut serta (sharing) bersama mereka). Kedua, pluralisme baru (Religious Pluralism) disebut dengan "positive tolerance" yang menyatakan bahwa "every single individual's beliefs, values, lifestyle, and truth claims are equal" (setiap keimanan, nilai, gaya hidup dan klaim kebenaran dari setiap individu, adalah sama (equal).[5]

Menurut The Oxford English Directory, pluralisme berarti “sebuah watak untuk menjadi plural”, dan dalam ilmu politik didefinisikan sebagai :

1) Sebuah teori yang menentang kekuasaan monolitik negara dan bahkan menganjurkan untuk meningkatkan pelimpahan dan otonomi organisasi-organisasi utama yang mewakili keterlibatan seseorang dalam masyarakat. Juga, percaya bahwa kekuasaan harus dibagi di antara partai-partai politik yang ada.

2) Keberadaan toleransi keragaman kelompok-kelompok etnis dan budaya dalam suatu masyarakat atau negara, keragaman kepercayaan atau sikap yang ada pada sebuah badan atau institusi dan sebagainya.[6]

Sedangkan dalam Islam yang dimaksud pluralisme adalah paham kemajemukan yang melihatnya sebagai suatu kenyataan yang bersifat positif dan sebagai keharusan bagi keselamatan umat manusia.[7]

c) Pengertian Multi-Kulturalisme

Dalam masyarakat yang majemuk (yang terdiri dari suku, ras, agama, bahasa, dan budaya yang berbeda), kita sering menggunakan berbagai istilah yaitu : pluralitas (plurality), keragaman (diversity), dan multikultural (multicultural). Ketiga ekspresi itu sesungguhnya tidak merepresentasikan hal yang sama, walaupun semuanya mengacu kepada adanya ’ketidaktunggalan’.

Dibandingkan konsep Pluralitas dan Keragaman, Multikulturalisme sebenarnya relatif baru. Menurut Bhikhu Parekh[8], baru sekitar 1970-an gerakan multikultural muncul pertama kali di Kanada dan Australia, kemudian di Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan lainnya. Secara konseptual terdapat perbedaan signifikan antara pluralitas, keragaman, dan multikultural. Inti dari multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa mempedulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama.

Apabila pluralitas sekadar merepresentasikan adanya kemajemukan (yang lebih dari satu), multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang publik. Multikulturalisme menjadi semacam respons kebijakan baru terhadap keragaman. Dengan kata lain, adanya komunitas-komunitas yang berbeda saja tidak cukup; sebab yang terpenting adalah bahwa komunitas-komunitas itu diperlakukan sama oleh negara.

Akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan. Pengertian kebudayaan diantara para ahli harus dipersamakan atau setidak-tidaknya tidak dipertentangkan antara satu konsep yang dipunyai oleh seorang ahli dengan konsep yang dipunyai oleh ahli atau ahli-ahli lainnya. Karena multikulturalsime itu adalah sebuah ideologi dan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiannya, maka konsep kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia. Saya melihat kebudayaan dalam perspektif tersebut dan karena itu melihat kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Yang juga harus kita perhatikan bersama untuk kesamaan pendapat dan pemahaman adalah bagaimana kebudayaan itu operasional melalui pranata-pranata sosial.

Sebagai sebuah ide atau ideologi multikulturalisme terserap dalam berbagai interaksi yang ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia yang tercakup dalam kehidupan sosial, kehidupan ekonomi dan bisnis, dan kehidupan politik, dan berbagai kegiatan lainnya di dalam masyarakat yang bersangkutan Kajian-kajian mengenai corak kegiatan, yaitu hubungan antar-manusia dalam berbagai manajemen pengelolaan sumber-sumber daya akan merupakan sumbangan yang penting dalam upaya mengembangkan dan memantapkan multikulturalisme dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi Indonesia.

Menurut Rogers dan Steinfatt Multikulturalisme merupakan pengakuan bahwa beberapa kultur yang berbeda dapat eksis dalam lingkungan yang sama dan menguntungkan satu sama lain. Atau pengakuan dan promosi terhadap pluralisme kultural.[9] Sedang Suryadinata menyebutkan bahwa multikulturalisme menghargai dan berusaha melindungi keragaman kultural.[10]

d) Perbedaan Kulturalisme dengan Multi-Kulturalisme

Dari gambaran tersebut di atas, setidaknya dapat dilihat bagaimana sebenarnya perbedaan kultutalisme dengan multikulturalisme. Dr. Turnomo Rahardjo misalnya membedakan keduanya sebagai berikut : [11]

(1) Kulturalisme

1. Bertujuan mengembangkan interdependensi pada aspek-aspek pragmatis dan instrumental dalam kontak antarbudaya;

2. Memberikan penekanan pada pemeliharaan identitas kultural;

3. Mengkombinasikan pendekatan etic (memperoleh data) dan pendekatan emic (mendapatkan data) dalam pertukaran antarbudaya.

(2) Multikulturalisme

1. Bertujuan mempertahankan dan mentransmisikan budaya yang tidak dapat diubah oleh kekuatan-kekuatan relasional maupun eksternal;

2. Berusaha memelihara identitas kultural dengan segala konsekuensinya;

3. Merupakan proses emic (mendapatkan data) karena mensyaratkan pemeliharaan terhadap keberadaan setiap budaya.

C. RESPON ISLAM TERHADAP MULTI-KULTURALISME

Sampai batas tertentu, respons agama terhadap kecenderungan multikulturalisme memang masih ambigu. Hal itu disebabkan, agama kerap dipahami sebagai wilayah sakral, metafisik, abadi, samawi, dan mutlak. Bahkan, pada saat agama terlibat dengan urusan ’duniawi’ sekalipun, hal ini tetap demi penunaian kewajiban untuk kepentingan ’samawi.’ Berbagai agama, tentu saja, berbeda-beda dalam perkara cara dan berbagai aspek, namun agama-agama tersebut hampir seluruhnya memiliki sifat-sifat demikian itu.

Karena sakral dan mutlak, maka sulit bagi agama-agama tersebut untuk mentoleransi atau hidup berdampingan dengan tradisi kultural yang dianggap bersifat duniawi dan relativistik. Oleh karena itu, persentuhan agama dan budaya lebih banyak memunculkan persoalan daripada manfaat. Apalagi, misalnya dalam konteks Islam, kemudian dikembangkan konsep bid’ah yang sama sekali tidak memberikan ruang akomodasi bagi penyerapan budaya non-agama.

Dapatkah Islam mengembangkan multikulturalisme, sementara pada saat yang sama kurang mengembangkan apresiasi terhadap budaya, termasuk yang berperspektif lokal? Rasanya sulit menjawabnya secara afirmatif, jika gagasan multikulturalisme itu masih dianggap asing dalam mind-set Islam.

Sebenarnya, cita-cita agung multikulturalisme tidak bertentangan dengan agama; namun demikian basis teoretisnya tetap problematik. Nilai-nilai multikulturalisme dianggap ekstra-religius yang ditolak oleh para teolog Muslim, sehingga sulit untuk mengeksplorasi tema tersebut. Memang belakangan telah muncul prakarsa yang dilakukan sejumlah pemikir Arab, seperti Mohammed Abed al-Jabiri, Hassan Hanafi, Nasr Hamid Abu-Zaid, dan lain-lain, untuk merekonsiliasi antara tradisi dan agama. Namun, gagasan-gagasan mereka mendapat tanggapan keras dari ulama-ulama konservatif.

Dalam upaya membangun hubungan sinergi antara multikulturalisme dan agama, menurut Mun’im A Sirry minimal diperlukan dua hal yaitu :[12]

Pertama, penafsiran ulang atas doktrin-doktrin keagamaan ortodoks yang sementara ini dijadikan dalih untuk bersikap eksklusif dan opresif. Penafsiran ulang itu harus dilakukan sedemikian rupa sehingga agama bukan saja bersikap reseptif terhadap kearifan tradisi lokal, melainkan juga memandu di garda depan untuk mengantarkan demokrasi built-in dalam masyarakat-masyarakat beragama.

Kedua, mendialogkan agama dengan gagasan-gagasan modern. Saat ini, umat beragama memasuki suatu fase sejarah baru di mana mereka harus mampu beradaptasi dengan peradaban-peradaban besar yang tidak didasarkan pada agama, seperti kultur Barat modern. Kita tak mungkin menghindar dari ide-ide dan teori-teori sekuler. Itu berarti, menyentuh istilah-istilah dengan gagasan non-religius itu merupakan tugas paling menantang yang dihadapi kaum Muslim pada zaman modern ini.

Dr Abdolkarim Soroush,[13] intelektual Muslim asal Iran, menegaskan bahwa umat beragama dihadapkan pada dua persoalan: local problems (problem-problem lokal) dan universal problems (problem-problem universal) yakni problem kemanusiaan secara keseluruhan. Menurut dia, saat ini, problem-problem seperti perdamaian, hak-hak asasi manusia, hak-hak perempuan, telah menjadi problem global, dan harus diselesaikan pada level itu.

1. Pandangan Islam Tentang Sosio-kultural (budaya)

Agama, termasuk Islam mengandung simbol-simbol sistem sosio-kultural yang memberikan suatu konsepsi tentang realitas dan rancangan untuk mewujudkannya. Tetapi, simbol-simbol yang menyangkut realitas tidak selalu harus sama dengan realitas yang terwujud secara riil dalam kehidupan masyarakat. Dalam pengertian ini, agama dipahami sebagai suatu “sistem budaya” (cultural system).[14]

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, jika Islam (Alqur’an) – yang diyakini kaum Muslimin sebagai kebenaran final yang tidak dapat diubah dan berlaku untuk segala waktu dan tempat – merupakan konsepsi tentang relitas, apakah Islam merupakan pendukung atau sebaliknya hambatan terhadap perkembangan budaya? Dalam bentuk yang lebih populer, apakah Islam menjadi penghalang bagi perubahan sosial yang menuju ke arah kesejahteraan kemanusiaan?

Menjawab pertanyaan tersebut tentunya kita akan melihat kembali kebelakang, bahwa sepanjang sejarah sejak masa-masa awal telah tercipta semacam ketegangan antara doktrin teologis Islam dengan relitas dan perkembangan sosial. Tetapi dalam aplikasi praktis, Islam “terpaksa” mengakomodasi kenyataan sosial budaya. Tatkala doktrin pokok Al-Qur’an tentang fiqh, misalnya dirumuskan secara terinci, ketika itu pulalah para ahli fiqh – terpaksa mempertimbangkan faktor sosial budaya. Karena itulah antara lain tercipta perbedaan-perbedaan – betapapun kecilnya, misalnya diantara imam-imam madzhab. Imam Syafi’i, misalnya mengembangkan apa yang disebut “qawl al-qadim” ketika di Irak dan “qawl al-jadid” ketika ia pindah ke Mesir.

Jadi sejak awal perkembangan Islam sebagai konsepsi realitas telah menerima akomodasi sosio-kultural. Akomodasi ini semakin terlihat ketika wilayah Islam berkembang sedemikian rupa sehingga ia menjadi agama yang mendunia. Pada kasus-kasus tertentu, akomodasi itu tercipta sedemikian rupa, sehingga memunculkan “varian Islam”.[15]

2. Sikap Masyarakat Madani (Islam) Terhadap Multi-Kulturalisme

Sebagaimana kota Jakarta, kota-kota besar dunia Islam pada masa kejayaannya, terutama Baghdad dan Kordoba, merupakan masyarakat yang majemuk (plural), dimana penduduk dari pelbagai latar belakang etnik, suku, bangsa dan agama berkumpul dan hidup bersama. Tentu saja, keadaan ini menimbulkan tantangan-tantangan tersendiri yang perlu dijawab oleh masyarakat perkotaan dengan mengembangkan sifat-sifat yang cocok dengan keadaan. Sifat-sifat yang cocok dengan keadaan masyarakat kota inilah yang dimaksud dengan masyarakat madani-multikultural dan tentu saja melibatkan sikap-sikap tertentu yang menjadi tuntutan masyarakat multikultural. Sikap-sikap tersebut menurut Mulyadhi Kartanegara di golongkan menjadi empat, antara lain meliputi inklusivisme, humanisme/egalitarianisme, toleransi, dan demokrasi.[16]

a) Inklusivisme

Sikap inklusif sebenarnya telah dipraktekkan oleh para adib ketika menyusun “adab” mereka. Dalam menentukannya selain menggunakan al-Qur’an dan hadits sebagai sumber paling otoritatif, mereka juga masih menggunakan sumber-sumber dari kebudayaan lain.[17] Selain para adib (udaba’) , para ilmuwan dan filosof Muslim juga telah mengembangkan sikap inklusif yang serupa dalam karya mereka. Mereka menunjukkan sikap lapang dada dan percaya diri yang luar biasa terhadap pemikiran-pemikiran yang datang dari luar, dan tak nampak sedikitpun rasa minder dalam diri mereka. Sikap inklusif ini dapat dilihat dari tokoh-tokoh filosof Muslim dalam berfilsafat dan juga dalam mencari guru.[18]

b) Humanisme/egalitariaanisme

Yang dimaksud humanisme disini adalah cara pandang yang memperlakukan manusia karena kemanusiaannya, tidak karena sebab yang lain di luar itu, seperti ras, kasta, warna kulit, kedudukan, kekayaan dan bahkan agama. Dengan demikian termasuk di dalam humanisme ini adalah sifat egaliter, yang menilai semua manusia sama derajatnya. Sejarah kebudayaan Islam sarat dengan contoh-contoh sifat humanis ini. Nabi kita sendiri disinyalir pernah menyatakan dengan tegas, bahwa “tidak ada kelebihan seorang Arab daripada ‘ajam (non-Arab)”.

Contoh lain yang berkenaan dengan humanisme adalah : pembelaan oleh Jalal al-Din Rumi kepada muridnya yang beragama Kristen[19], dan juga dapat kita lihat dari kitab al-Akhlaq wa al-Siyar, karangan Ibn Hazm (w.1066), yang intinya pandangan Ibn Hazm terlihat jelas ketika, misalnya, ia mengritik seseorang yang terlalu bangga dengan keturunannya.

c) Toleransi

Toleransi umat Islam barangkali dapat dilihat dari beberapa contoh di bawah ini : Pada Masa awal Islam, Para penguasa Muslim dalam waktu yang relatif singkat telah menaklukkan beberapa wilayah sekitarnya seperti; Mesir, Siria, dan Persia. Ketika para penguasa Muslim menaklukkan daerah tersebut, di sana telah ada dan berkembang dengan pesat beberapa pusat ilmu pengetahuan. Dan setelah daerah tersebut dikuasai Islam, kegiatan keilmuan masih berjalan dengan baik tanpa ada campur tangan dari penguasa Muslim.

Disamping itu komunitas non-Muslim seperti Kristen, Yahudi, dan bahkan Zoroaster dapat hidup dan menjalankan ibadah mereka masing-masing dengan relatif bebas di bawah kekuasaan para penguasa Muslim. Sikap lain yang ditunjukkan adalah diperkenankannya kaum non-Muslim untuk hadir dan mengikuti kajian-kajian ilmiah yang diselenggarakan orang-orang Muslim, baik sarjananya maupun penguasanya.

d) Demokrasi

Menurut Abdolkarim Soroush dalam bukunya Reason, Freedom and Democracy in Islam, salah satu sifat yang tidak boleh ditinggalkan dalam demokrasi adalah kebebasan individu untuk mengemukakan pendapatnya, dengan kata lain harus ada kebebasan berfikir.[20] Kebabasan inilah yang telah dilaksanakan oleh masyarakat di kota-kota besar Islam, terutama pada masa kejayaan Islam.

Pada kesempatan yang lain, Samsu Rizal Panggabean[21] memberikan gambaran mengenai pandangan Islam tentang Multikulturalisme, yang mana dia menjelaskan bahwa kenekaragaman itu sendiri ada dalam tubuh Islam (masyarakat Islam), disamping kenekaragaman yang terjadi di luar Islam. Dalam tulisannya yang berjudul Islam dan Multikulturalisme, Rizal membahas multikulturalisme dalam dua arah pembicaraan, yaitu : multikulturalisme dari komunitas Muslim (Multikulturalisme Internal) dan komunitas agama-agama lain (Multikulturalisme Eksternal).

a) Multikulturalisme Internal

Multikultuiralisme Internal adalah keanekaragaman internal dikalangan umat Islam, ini menunjukkan bahwa kebudayaan Islam itu majemuk secara internal. Dalam hal ini, kebudayaan Islam serupa dengan kebudayaan-kebudayaan lainnya kecuali kebudayaan yang paling primitif. Kemajemukan internal ini mencakup antara lain : Bidang pengelompokan sosial; Bidang fiqh; Bidang teologi, Bidang tasawuf dan dimasa modern seperti politik kepartaian.

Dilihat dari sudut multikulturalisme internal ini, pluralisme identitas kultural keagamaan dalam masyarakat Muslim bukan hanya merupakan fakta yang sulit dipungkiri. Lebih dari itu, multikulturalisme juga menjadi semangat, sikap, dan pendekatan. Dalam hal ini, setiap identitas kultural terus berinteraksi dengan dengan identitas kultural yang lain di dalam tubuh umat. Melalui interaksi itu, setiap identitas mendefinisikan identitasnya dalam kaitannya dengan identitas yang lain dan karenanya, secara sadar atau tidak, suatu identitas dipengaruhi identitas yang lain. Multikulturalisme internal ini, dengan demikian, mengisyaratkan kesediaan berdialog dan menerima kritik.

b) Multikulturalisme Eksternal

Multikultural eksternal ditandai dengan pluralitas komunal-keagamaan, merupakan fakta yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan masyarakat Muslim. Dimasa lalu, imperium-imperium Islam, walaupun ada penisbatan dan pelabelan Islam pada namanya, selalu bercirikan multikultural dalam pengertian keanekaragaman komunitas keagamaan. Imperium besar seperti Usmani di Turki meupun imperium yang lebih kecil seperti Ternate dan Tedore di wilayah Timur Nusantara selalu mencakup lebih dari dua komunitas kultural-keagamaan.

Dilihat dari sudut multikulturalisme eksternal ini, pluralisme keagamaan bukan hanya merupakan fakta yang tidak dapat dihindari. Lebih dari itu, multikulturalisme juga menjadi semangat, sikap, dan pendekatan terhadap keanekaragaman budaya dan agama. Sebagai bagian dari kondisi yang majemuk, umat Islam terus berinteraksi dengan umat dari agama-agama lain. Melalui proses interaksi ini, umat Islam memperkaya dan diperkaya tradisi keagamaan lain, dan umat agama lain memperkaya dan diperkaya tradisi keagamaan Islam. Sejarah menunjukkan bahwa ufuk intelektual dan moral peradaban Islam menjadi luas dan agung dengan atau setelah membuka diri terhadap masukan dan pengaruh dari kebudayaan dan peradaban lain – bukan dengan mengurung diri di dalam ghetto kultural yang sumpek dan absolutis.

D. PENUTUP

Pada akhir tulisan ini penulis dapat menarik kesimpulan dan dengan kesimpulan tersebut setidaknya mendapatkan gambaran yang cukup jelas tentang Respon Islam terhadap Multi-Kulturalisme, sehingga diharapkan dapat lebih memperjelas apa yang telah digambarkan di atas. Dan dengan kesimpulan tersebut pula setidaknya penulis dapat memberikan beberapa saran yang nantinya semoga dapat dipertimbangkan. Adapun kesimpulan dan saran adalah sebagai berikut :

a. Kesimpulan

1). Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia untuk memenuhi kehidupannya dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat

2). Pluralisme adalah paham kemajemukan yang melihatnya sebagai suatu kenyataan yang bersifat positif dan sebagai keharusan bagi keselamatan umat manusia

3). Multikulturalisme merupakan pengakuan bahwa beberapa kultur yang berbeda dapat eksis dalam lingkungan yang sama dan menguntungkan satu sama lain. Atau pengakuan dan promosi terhadap pluralisme kultural

4). Sejak awal perkembangan Islam sebagai konsepsi realitas telah menerima akomodasi sosio-kultural. Akomodasi ini semakin terlihat ketika wilayah Islam berkembang sedemikian rupa sehingga ia menjadi agama yang mendunia. Pada kasus-kasus tertentu, akomodasi itu tercipta sedemikian rupa, sehingga memunculkan “varian Islam”

5). Masyarakat yang majemuk (plural) -- dimana penduduk dari pelbagai latar belakang etnik, suku, bangsa dan agama berkumpul dan hidup bersama -- akan menimbulkan tantangan-tantangan tersendiri yang perlu dijawab oleh masyarakat perkotaan dengan mengembangkan sifat-sifat yang cocok dengan keadaan. Sifat-sifat yang cocok dengan keadaan masyarakat kota inilah yang dimaksud dengan masyarakat madani-multikultural dan tentu saja melibatkan sikap-sikap tertentu yang menjadi tuntutan masyarakat multikultural. Sikap-sikap tersebut antara lain meliputi inklusivisme, humanisme/egalitarianisme, toleransi, dan demokrasi.

b. Saran

Sebagai masyarakat Muslim yang senantiasa menghagai perbedaan, tentunya kita tidak serta merta menuduh bahwa yang lain itu salah, dan mengklaim bahwa hanya dirinya sendiri yang benar. Kita sebagai umat Muslim tentunya harus mengamalkan apa yang diajarkan agama Islam, dimana ajaran Islam mengajarkan kita untuk saling kenal-mengenal. Ini berarti bahwa keanekaragaman budaya merupakan suatu anugrah tersendiri dari Allah SWT kepada kita, sebagai bahan renungan, keilmuan, dan penelitian.


DAFTAR PUSTAKA

Aajid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, cet. II, London & New York, Colombia University Press, 1983

Abdolkarim Soroush, Reason, Freedom and Democracy in Islam : Essential Writing of Abdolkarim Soroush, (ed. Dan terj. Mahmud Sadri dan Ahmad Sadri), Oxford, Oxford University Press, 2000

Amin Abdullah, Prof. Dr., Dinamika Islam Kultural; Pemetaan atas Wacana Keislaman Kontemporer. 2000.

Azyumardi Azra, Prof. Dr., MA., Konteks Berteologi di Indonesia (Pengalaman Islam), Jakarta, Paramadina, 1999.

Deddy Mulyana, Dr., MA., dan Drs, Jalaludin Rakhmat, M.Sc., (Editor), Komunikasi Antarbudaya (Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya), Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, Cet. IV, 2000

Djoko Widagdo, Drs., Dkk, Ilmu Budaya Dasar, Jakarta, Bumi Aksara, 1991

Endang Turmudi dan Riza Sihbudi (Ed.), Islam dan Radikalisme di Indonesia, Jakarta, LIPI Press, 2005

Everett M. Rongers, Thomas M. Steinfatt, Intercultural Communication, Illinois, Waveland Press, Inc., 1999

Gurpreet Mahajan, Democracy, Difference and Justice, 1998

http://www.ananswer.org/mac/answeringpluralism.html, diakses 11/06/05

Joel L. Kraemer, Philosophy in the Renaissance of Islam, Leiden, E.J. Brill, 1986

Leo Suryadinata, Indonesia State Policy toward Ethnic Chinese : From Asimilation to Multiculturalism?, dalam simposium Internasional III Jurnal Antropologi Indonesia, Universitas Udayana, Bali, 2002

Masykuri Abdillah, Dr., Demokrasi di Persimpangan Makna (Respons Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993)), Yogyakarta, PT. Tiara Wacana, 1999

Mu’mun Murod Al-Barbasy. Dkk. (Ed.), Muhammadiyah – NU (Mendayung Ukhuwah di Tengah Perbedaan), Malang, UMM Press, 2004.

Mulyadhi Kartanegara, Islam dan Multikulturalisme ; Sebuah Cermin Sejarah, dalam Zakiyuddin Baidhawy dan M. Thoyibi (Ed.), Reinvensi Islam Multikultural, Surakarta, Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2005

Mulyadhi Kartanegara, Islam dan Multikulturalisme ; Sebuah Cermin Sejarah, dalam Zakiyuddin Baidhawy dan M. Thoyibi (Ed.), Reinvensi Islam Multikultural,

Mun’im A Sirry, Agama, Demokrasi, dan Multikulturalisme, Artikel.

Samsu Rizal Panggabean, Islam dan Multikulturalisme (Ragam Manajemen Masyarakat Plural) dalam Zakiyuddin Baidhawy dan M. Thoyibi (Ed.), Reinvensi Islam Multikultural, Surakarta, Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2005

Sukron Kamil (Peta Pemikran Politik Islam Modern dan Kontemporer), Artikel, http://www.paramadina.ac.id/html/research/314-sukron.pdf. Hlm. 73 diakses tanggal 29/11/2005

Turnomo Rahardjo, Dr., Menghargai Perbedaan Kultural (Mindfulness dalam Komunikasi Antaretnis), Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005

Zakiyuddin Baidhawy dan M. Thoyyibi (Ed.), Reinvensi Islam Multikultural, Surakarta, Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2005


[1] Drs. Djoko Widagdo, Dkk, Ilmu Budaya Dasar, Jakarta, Bumi Aksara, 1991, Hlm. 21-22

[2] Dr. Deddy Mulyana, MA., dan Drs, Jalaludin Rakhmat, M.Sc., (Editor), Komunikasi Antarbudaya (Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya), Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, Cet. IV, 2000, hlm. 56

[3] Ibid., hlm. 11-12

[4] Ibid., hlm. 58-63

[6] Dalam buku karangan Dr. Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna (Respons Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993)), Yogyakarta, PT. Tiara Wacana, 1999, hlm. 146.

[7] Sukron Kamil (Peta Pemikran Politik Islam Modern dan Kontemporer), Artikel, http://www.paramadina.ac.id/html/research/314-sukron.pdf. Hlm. 73 diakses tanggal 29/11/2005

[8] Gurpreet Mahajan, Democracy, Difference and Justice, 1998

[9] Everett M. Rongers, Thomas M. Steinfatt, Intercultural Communication, Illinois, Waveland Press, Inc., 1999, hlm. 238

[10] Leo Suryadinata, Indonesia State Policy toward Ethnic Chinese : From Asimilation to Multiculturalism?, dalam simposium Internasional III Jurnal Antropologi Indonesia, Universitas Udayana, Bali, 2002

[11] Dr. Turnomo Rahardjo, Menghargai Perbedaan Kultural (Mindfulness dalam Komunikasi Antaretnis), Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005, hlm. 87

[12] Mun’im A Sirry, Agama, Demokrasi, dan Multikulturalisme, Artikel.

[13] Dr. Abdolkarim Soroush, (2000), Rason, Freedom & Democracy in Islam.

[14] Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., Konteks Berteologi di Indonesia (Pengalaman Islam), Jakarta, Paramadina, 1999. hlm. 11

[15] Ibid., hlm. 12

[16] Mulyadhi Kartanegara, Islam dan Multikulturalisme ; Sebuah Cermin Sejarah, dalam Zakiyuddin Baidhawy dan M. Thoyibi (Ed.), Reinvensi Islam Multikultural, Surakarta, Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2005, hlm. 202.

[17] Aajid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, cet. II, London & New York, Colombia University Press, 1983, hlm. 35.

[18] Mulyadhi Kartanegara, Islam dan Multikulturalisme ; Sebuah Cermin Sejarah, dalam Zakiyuddin Baidhawy dan M. Thoyibi (Ed.), Reinvensi Islam Multikultural,hlm. 203 - 205

[19] Joel L. Kraemer, Philosophy in the Renaissance of Islam, Leiden, E.J. Brill, 1986, hlm. 48

[20] Abdolkarim Soroush, Reason, Freedom and Democracy in Islam : Essential Writing of Abdolkarim Soroush, (ed. Dan terj. Mahmud Sadri dan Ahmad Sadri), Oxford, Oxford University Press, 2000, hlm. 89

[21] Samsu Rizal Panggabean, Islam dan Multikulturalisme (Ragam Manajemen Masyarakat Plural) dalam Zakiyuddin Baidhawy dan M. Thoyibi (Ed.), Reinvensi Islam Multikultural, Surakarta, Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2005, hlm. 215-227

Senin, 04 Februari 2008

Macam macam Metode Penafsiran Al Qur'an

MACAM-MACAM
METODE PENAFSIRAN AL-QUR’AN
M. Ja’far Nashir, M.Ag



A. PENDAHULUAN
Al-Qur’an yang merupakan bukti kebenaran Nabi Muhammad SAW, sekaligus petunjuk untuk umat manusia kapan dan di mana pun, memiliki pelbagai macam keistemewaan. Keistimewaan tersebut, antara lain, susunan bahasanya yang unik memesonakan, dan pada saat yang sama mengandung makna-makna yang dapat dipahami oleh siapa pun yang memahami bahasanya, walaupun tentunya tingkat pemahaman mereka akan berbeda-beda akibat berbagai faktor.
Redaksi ayat-ayat Al-Qur’an, sebagaimana setiap redaksi yang diucapkan atau ditulis, tidak dapat dijangkau maksudnya secara pasti, kecuali oleh pemilik redaksi tersebut. Hal inilah yang kemudian menimbulkan keanekaragaman penafsiran. Dalam hal Al-Qur’an, para sahabat Nabi sekalipun, yang secara umum menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui konteksnya, serta memahami secara alamiah struktur bahasa dan arti kosakatanya, tidak jarang berbeda pendapat, atau bahkan keliru dalam pemahaman mereka tentang maksud firman-firman Allah yang mereka dengan atau mereka baca itu.[1]
Ibn ‘Abbas, yang dinilai sebagai salah seorang sahabat Nabi yang paling mengetahui maksud firman-firman Allah, menyatakan bahwa tafsir terdiri dari empat bagian : pertama, yang dapat dimengerti secara umum oleh orang-orang Arab berdasarkan pengetahuan bahasa mereka; kedua, yang tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak mengetahuinya; ketiga, yang tidak diketahui kecuali oleh ulama; dan keempat, yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.[2] Dari pembagian ini maka ditemukan dua jenis pembatasan, yaitu :[3]



(a) Menyangkut materi ayat-ayat.
Dilihat dari sudut materi ada ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak dapat diketahui kecuali oleh Allah atau oleh Rasul bila beliau menerima penjelasan dari Allah. Pengecualian ini mengandung beberapa kemungkinan arti, antara lain :
1. Ada ayat-ayat yang memang tidak mungkin dijangkau pengertiannya oleh seseorang, seperti : ya-sin, alif lam mim, dan sebagainya.
2. Ada ayat-ayat yang hanya diketahui secara umum artinya, atau sesuai dengan bentuk luar redaksinya, tetapi tidak dapat didalami maksudnya, seperti masalah-masalah metafisika, perincian ibadah an-sich, dan sebagainya, yang tidak termasuk dalam wilayah pemikiran atau jangkauan akal manusia.
(b) Menyangkut syarat-syarat penafsiran.
Dari segi syarat penafsiran, khusus bagi penafsiran yang mendalam dan menyeluruh, ditemukan banyak syarat. Secara umum dan pokok dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Pengetahuan tentang bahasa Arab dalam berbagai bidangnya;
2. Pengetahuan tentang ilmu-ilmu Al-Qur’an, sejarah turunnya, hadits-hadits Nabi, dan Ushul Fiqh;
3. Pengetahuan tentang prinsip-prinsip pokok keagamaan; dan
4. Pengetahuan tentang disiplin ilmu yang menjadi materi bahasan ayat.
Bagi mereka yang tidak memenuhi persyaratan di atas, tidak dibenarkan untuk menafsirkan Al-Qur’an. Untuk itu ada dua hal yang sangat penting untuk digarisbawahi, yaitu :[4]
1) Menafsirkan berbeda dengan berdakwah atau berceramah berkaitan dengan tafsir ayat Al-Qur’an. Seseorang yang tidak memenuhi syarat-syarat di atas, tidak berarti terlarang untuk menyampaikan uraian tafsir, selama uraian yang dikemukakannya berdasarkan pemahaman para ahli tafsir yang telah memenuhi syarat di atas.
2) Faktor-faktor yang mengakibatkan kekeliruan dalam penafsiran antara lain adalah :
a. Subjektivitas mufasir;
b. Kekeliruan dalam menerapkan metode atau kaidah;
c. Kedangkalan dalam ilmu-ilmu alat;
d. Kedangkalan pengetahuan tentang materi uraian (pembicaraan) ayat;
e. Tidak memperhatikan konteks, baik asbab al-nuzul, hubungan atar ayat, maupun kondisi sosial masyarakat; dan
f. Tidak memperhatikan siapa pembicara dan terhadap siapa pembicaraan ditujukan.
Melihat begitu mendalam dan sistematisnya dalam memahami Al-Qur’an dengan adanya berbagai persyaratan penafsiran terhadap Al-Qur’an sebagaimana tersebut di atas, maka tidaklah mengherankan bila Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam, menempati posisi sentral, bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga merupakan ispirator dan pemandu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad sejarah pergerakan umat ini.[5]
Jika demikian itu halnya, maka pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, melalui penafsiran-penafsiran sebagaimana dijelaskan diatas, mempunyai peranan yang sangat besar bagi maju-mundurnya umat. Sekaligus, penafsiran-penafsiran itu dapat mencerminkan perkembangan serta corak pemikiran mereka. Itu juga dikarenakan banyak sekali metode penafsiran yang digunakan oleh seorang mufasirin dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.

B. METODE PENAFSIRAN AL-QUR’AN
Sebelum berbicara tentang metode penafsiran al-Qur’an, terlebih dahulu kita harus mengetahui tentang pengertian metode itu sendiri. Apakah ada perbedaan antara metode dengan bentuk, dan atau dengan corak?
Metode adalah : Cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud[6]. Dalam Ensiklopedi Indonesia Metoda adalah : cara melakukan sesuatu ata cara mencapai pengetahuan[7] Bentuk adalah : Sistem, susunan, pendekatan.[8] Dalam hal ini berarti berbicara menganai hubungan tafsir al-Qur’an dengan media atau alat yang digunakan dalam menafsirkan al-Qur’an. Media untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman teks-teks atas nash al-Qur’an dapat berupa; nash (al-Qur’an dan al-Hadits), akal, ataupun intuisi.[9] Sedangkan Corak adalah : Paham atau macam.[10] Dalam hal ini corak penafsiran adalah sekitar hubungan tafsir al-Qur’an dengan kecenderungan yang dimiliki mufasir yang bersangkutan.
1) Bentuk Penafsiran
Yang dimaksud dengan bentuk penafsiran disini ialah naw’ (macam atau jenis) penafsiran. Sepanjang sejarah penafsiran Al-Qur’an, paling tidak ada dua bentuk penafsiran yang dipakai (diterapkan) oleh ulama’ yaitu al-ma’tsur (riwayat) dan al-ra’y (pemikiran).
a. Bentuk Riwayat (Al-Ma’tsur)
Penafsiran yang berbentuk riwayat atau apa yang sering disebut dengan “tafsir bi al-ma’tsur” adalah bentuk penafsiran yang paling tua dalam sejarah kehadiran tafsir dalam khazanah intelektual Islam. Tafsir ini sampai sekarang masih terpakai dan dapat di jumpai dalam kitab-kitab tafsir seumpama tafsir al-Thabari, Tafsir ibn Katsir, dan lain-lain.
Dalam tradisi studi Al-Qur’an klasik, riwayat merupakan sumber penting di dalam pemahaman teks Al-Qur’an. Sebab, Nabi Muhammad SAW. diyakini sebagai penafsir pertama terhadap Al-Qur’an. Dalam konteks ini, muncul istilah “metode tafsir riwayat”. Pengertian metode riwayat, dalam sejarah hermeneutik Al-Qur’an klasik, merupakan suatu proses penafsiran Al-Qur’an yang menggunakan data riwayat dari Nabi SAW. dan atau sahabat, sebagai variabel penting dalam proses penafsiran Al-Qur’an. Model metode tafsir ini adalah menjelaskan suatu ayat sebagaimana dijelaskan oleh Nabi dan atau para sahabat.
Para ulama sendiri tidak ada kesepahaman tentang batasan metode tafsir riwayat. Al-Zarqani, misalnya, membatasi dengan mendefinisikan sebagai tafsir yang diberikan oleh ayat Al-Qur’an. Sunnah Nabi, dan para sahabat.[11] Ulama lain, seperti Al-Dzahabi, memasukkan tafsir tabi’in dalam kerangka tafsir riwayat, meskipun mereka tidak menerima tafsir secara langsung ari Nabi Muhammad SAW. Tapi, nyatanya kitab-kitab tafsir yang selama ini diklaim sebagai tafsir yang menggunakan metode riwayat, memuat penafsiran mereka, seperti Tafsir Al-Thabari.[12] Sedang Al-Shabuni memberikan pengertian lain tentang tafsir riwayat. Menurutnya tafsir riwayat adalah model tafsir yang bersumber dari Al-Qur’an, Sunnah dan atau perkataan sahabat.[13] Definisi ini nampaknya lebih terfokus pada material tafsir dan bukan pada metodenya. Ulamat Syi’ah berpandangan bahwa tafsir riwayat adalah tafsir yang dinukil dari Nabi dan para Imam Ahl-bayt. Hal-hal yang dikutib dari para sahabat dan tabi’in, menurut mereka tidak dianggap sebagai hujjah.[14]
Dari segi material, menafsirkan Al-Qur’an memang bisa dilakukan dengan menafsirkan antarayat, ayat dengan hadits Nabi, dan atau perkataan sahabat. Namun secara metodologis bila kita menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan ayat lain dan atau dengan hadits, tetapi proses metodologisnya itu bukan bersumber dari penafsiran yang dilakukan Nabi, tentu semua itu sepenuhnya merupakan hasil intelektualisasi penafsir. Oleh karena itu, meskipun data materialnya dari ayat dan atau hadits Nabi dalam menafsirkan Al-Qur’an, tentu ini secara metodologis tidak bisa sepenuhnya disebut sebagai metode tafsir riwayat.
Jadi, terlepas dari keragaman definisi yang selama ini diberikan para ulama ilmu tafsir tentang tafsir riwayat di atas, metode riwayat di sini bisa didefinisikan sebagai metode penafsiran yang data materialnya “mengacu pada hasil penafsiran Nabi Muhammad SAW. yang ditarik dari riwayat pernyataan Nabi dan atau dalam bentuk asbab al-nuzul sebagai satu-satunya sember data otoritatif”. Sebagai salah satu metode, model metode riwayat dalam pengertian yang terakhir ini tentu statis, karena hanya tergantung pada data riwayat penafsiran Nabi. Dan juga harus diketahui bahwa tidak setiap ayat mempunyai asbab al-nuzul.[15]

b. Bentuk Pemikiran (Al-Ra’y)
Setelah berakhir masa salaf sekitar abad ke-3 H, dan peradaban Islam semakin maju dan berkembang, maka lahirlah berbagai mazhab dan aliran di kalangan umat. Masing-masing golongan berusaha menyakinkan pengikutnya dalam mengembangkan paham mereka. Untuk mencapai maksud itu, mereka mencari ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits-Hadits Nabi, lalu mereka tafsirkan sesuai dengan keyakinan yang mereka anut. Ketika inilah berkembangnya bentuk penafsiran al-ra’y (tafsir melalui pemikiran atau ijtihad). Melihat berkembang pesatnya tafsir bi al-ra’y, maka tepat apa yang dikatakan Manna’ al-Qaththan bahwa tafsir bi al-ra’y mengalahkan perkembangan tafsir bi al-ma’tsur.
Meskipun tafsir bi al-ra’y berkembang dengan pesat, namun dalam penerimaannya para ulama terbagi menadi dua : ada yang membolehkan ada pula yang melarangnya. Tapi setelah diteliti, ternyata kedua pendapat yang bertentangan itu hanya bersifat lafzhi (redaksional). Maksudnya kedua belah pihak sama-sama mencela penafsiran berdasarkan ra’y (pemikiran) semata tanpa mengindahkan kaedah-kaedah dan kriteria yang berlaku. Sebaliknya, keduannya sepakat membolehkan penafsiran Al-Qur’an dengan sunnah Rasul serta kaedah-kaedah yang mu;tabarah (diakui sah secara bersama).[16]
Dengan demikian jelas bahwa secara garis besar perkembangan tafsir sejak dulu sampai sekarang adalah melalui dua bentuk tersebut di atas, yaitu bi al-ma’tsur (melalui riwayat) dan bi al-ra’y (melalui pemikiran atau ijtihad).

2) Metode Penafsiran
Yang dimaksud dengan metodologi penafsiran ialah ilmu yang membahas tentang cara yang teratur dan terpikir baik untuk mendapatkan pemahaman yang benar dari ayat-ayat A;-Qur’an sesuai kemampuan manusia.
Metode tafsir yang dimaksud di sini adalah suatu perangkat dan tata kerja yang digunakan dalam proses penafsiran Al-Qur’an. Perangkat kerja ini, secara teoritik menyangkut dua aspek penting yaitu : pertama, aspek teks dengan problem semiotik dan semantiknya. Kedua, aspek konteks di dalam teks yang mempresentasikan ruang-ruang sosial dan budaya yang beragam di mana teks itu muncul. [17]
Jika ditelusuri perkembangan tafsir Al-Qur’an sejak dulu sampai sekarang, maka akan ditemukan bahwa dalam garis besarnya penafsiran Al-Qur’an ini dilakukan dalam empat cara (metode), sebagaimana pandangan Al-Farmawi, yaitu : ijmaliy (global), tahliliy (analistis), muqaran (perbandingan), dan mawdhu’iy (tematik).[18] Untuk lebih jelasnya di bawah ini diuraikan keempat metode tafsir tersebut secara rinci, yaitu : [19]
(a) Metode Ijmali (Global)
Ø Pengertian
Yang dimaksud dengan metode al-Tafsir al-Ijmali (global) ialah suatu metoda tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global.[20] Pengertian tersebut menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an secara ringkas tapi mencakup dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti dan enak dibaca. Sistematika penulisannya menurut susunan ayat-ayat di dalam mushhaf. Di samping itu penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa AL-Qur’an sehingga pendengar dan pembacanya seakan-akan masih tetap mendengar Al-Qur’an padahal yang didengarnya itu tafsirnya.[21]
Kitab tafsir yang tergolong dalam metode ijmali (global) antara lain : Kitab Tafsir Al-Qur’an al-Karim karangan Muhammad Farid Wajdi, al-Tafsir al-Wasith terbitan Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyat, dan Tafsir al-Jalalain, serta Taj al-Tafasir karangan Muhammad ‘Utsman al-Mirghani.
Ø Ciri-ciri Metode Ijmali
Dalam metode ijmali seorang mufasir langsung menafsirkan Al-Qur’an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul. Pola serupa ini tak jauh berbeda dengan metode alalitis, namun uraian di dalam Metode Analitis lebih rinci daripada di dalam metode global sehingga mufasir lebih banyak dapat mengemukakan pendapat dan ide-idenya. Sebaliknya di dalam metode global, tidak ada ruang bagi mufasir untuk mengemukakan pendapat serupa itu. Itulah sebabnya kitab-kitab Tafsir Ijmali seperti disebutkan di atas tidak memberikan penafsiran secara rinci, tapi ringkas dan umum sehingga seakan-akan kita masih membaca Al-Qur’an padahal yang dibaca tersebut adalah tafsirnya; namun pada ayat-ayat tertentu diberikan juga penafsiran yang agak luas, tapi tidak sampai pada wilayah tafsir analitis.

(b) Metode Tahliliy (Analisis)
Ø Pengertian
Yang dimaksud dengan Metode Tahliliy (Analisis) ialah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.
Kalau kita lihat dari bentuk tinjauan dan kandungan informasi yang terdapat dalam tafsir tahliliy yang jumlah sangat banyak, dapat dikemukakan bahwa paling tidak ada tujuh bentuk tafsir, yaitu : [22] Al-Tafsir bi al-Ma’tsur, Al-Tafsir bi al-Ra’yi, Al-Tafsir al-Fiqhi, Al-Tafsir al-Shufi, At-Tafsir al-Ilmi, dan Al-Tafsir al-Adabi al-Ijtima’i.
Sebagai contoh penafsiran metode tahliliy yang menggunakan bentuk Al-Tafsir bi al-Ma’tsur (Penafsiran ayat dengan ayat lain), misalnya : kata-kata al-muttaqin (orang-orang bertakwa) dalam ayat 1 surat al-Baqarah dijabarkan ayat-ayat sesudahnya (ayat-ayat 3-5) yang menyatakan :

ﺍﻟﺬﻳﻦﻳﺆﻣﻨﻮﻥﺑﺎﺍﻟﻐﻴﺐﻭﻳﻘﻴﻤﻮﻥﺍﻟﺼﻠﻮﺓﻭﻣﻤﺎﺭﺯﻗﻨﺎﻫﻢﻳﻨﻔﻘﻮﻥﻭﺍﻟﺬﻳﻦﻳﺆﻣﻨﻮﻥﺑﻤﺎﺃﻧﺰﻝ
ﺇﻟﻴﻚﻭﻣﺎﺃﻧﺰﻝﻣﻦﻗﺒﻠﻚﻭﺑﺎﻷﺧﺮﺓﻫﻢﻳﻮﻗﻨﻮﻥﺃﻭﻟﺌﻚﻋﻠﻰﻫﺪﯼﻣﻦﺭﺑﻬﻢﻭﺃﻭﻟﺌﻚ
ﻫﻢﺍﻟﻤﻔﻠﺤﻮﻥ
“Yaitu orang-orang yang beriman kepada yang ghaib, mendirikan salat, dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami berikan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada Kitab (al-Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akherat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan mereka orang-orang yang beruntung.”

Ø Ciri-ciri Metode Tahlili
Pola penafsiran yang diterapkan para penafsir yang menggunakan metode tahlili terlihat jelas bahwa mereka berusaha menjelaskan makna yang terkandung di dalam ayat-ayat Al-Qur’an secara komprehenshif dan menyeluruh, baik yang berbentuk al-ma’tsur, maupun al-ra’y, sebagaimana. Dalam penafsiran tersebut, Al-Qur’an ditafsirkan ayat demi ayat dan surat demi surat secara berurutan, serta tak ketinggalan menerangkan asbab al-nuzul dari ayat-ayat yang ditafsirkan.
Penafsiran yang mengikuti metode ini dapat mengambil bentuk ma’tsur (riwayat) atau ra’y (pemikiran). Diantara kitab tahlili yang mengambil bentuk ma’tsur (riwayat) adalah :
Ø Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil al-Qur’an al-Karim, karangan Ibn Jarir al-Thabari (w. 310 H) dan terkenal dengan Tafsir al-Thabari.
Ø Ma’alim al-Tanzil, karangan al-Baghawi (w. 516 H)
Ø Tafsir al-Qur’an al-Azhim, karangan Ibn Katsir; dan
Ø Al- Durr al-Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur, karangan al-Suyuthi (w. 911 H)
Adapun tafsir tahlili yang mengambil bentuk ra’y banyak sekali, antara lain :
Ø Tafsir al-Khazin, karangan al-Khazin (w. 741 H)
Ø Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, karangan al-Baydhawi (w. 691 H)
Ø Al-Kasysyaf, karangan al-Zamakhsyari (w. 538 H)
Ø Arais al-Bayan fi Haqaiq al-Qur’an, karangan al-Syirazi (w. 606 H)
Ø Al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib, karangan al-Fakhr al-Razi (w. 606 H)
Ø Al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, karangan Thanthawi Jauhari;
Ø Tafsir al-Manar, karangan Muhammad Rasyid Ridha (w. 1935 M); dan lain-lain

(c) Metode Muqarin (Komparatif)
Ø Pengertian
Pengertian metode muqarin (komparatif) dapat dirangkum sebagai berikut :
a. Membandingkan teks (nash) ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama;
b. Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan Hadits Nabi SAW, yang pada lahirnya terlihat bertentangan;
c. Membandingkan berbagai pendapat ulama’ tafsir dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Jadi dilihat dari pengertian tersebut dapat dikelompokkan 3 objek kajian tafsir, yaitu[23] :
§ Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an yang lain;
Mufasir membandingkan ayat Al-Qur’an dengan ayat lain, yaitu ayat-ayat yang memiliki persamaan redaksi dalam dua atau lebih masalah atau kasus yang berbeda; atau ayat-ayat yang memiliki redaksi berbeda dalam masalah atau kasus yang (diduga) sama. Al-Zarkasyi mengemukakan delapan macam variasi redaksi ayat-ayat Al-Qur’an,[24] sebagai berikut :
(a) Perbedaan tata letak kata dalam kalimat, seperti :
ﻗﻞﺇﻥﻫﺪﯼﺍﷲﻫﻮﺍﻟﻬﺪﯼ
“Katakanlah : Sesungguhnya petunjuk Allah itulah (yang sebenarnya) petunjuk” (QS : al-Baqarah : 120)
ﻗﻞﺇﻥﺍﻟﻬﺪﯼﻫﺪﯼﺍﷲ
“Katakanlah : Sesungguhnya petunjuk (yang harus diikuti) ialah petunjuk Allah” (QS : al-An’am : 71)

(b) Perbedaan dan penambahan huruf, seperti :
ﺳﻮﺍﺀﻋﻠﻴﻬﻢﺃﺃﻧﺬﺭﺗﻬﻢﺃﻡﻟﻢﺗﻨﺬﺭﻫﻢﻻﻳﺆﻣﻨﻮﻥ
“Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka ataukah kamu tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman” (QS : al-Baqarah : 6)
ﻭﺳﻮﺍﺀﻋﻠﻴﻬﻢﺃﺃﻧﺬﺭﺗﻬﻢﺃﻡﻟﻢﺗﻨﺬﺭﻫﻢﻻﻳﺆﻣﻨﻮﻥ
“Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka ataukah tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman” (QS : Yasin: 10)

(c) Pengawalan dan pengakhiran, seperti :
ﻳﺘﻠﻮﻋﻠﻴﻬﻢﺍﻳﺘﻚﻭﻳﻌﻠﻤﻬﻢﺍﻟﻜﺘﺐﻭﺍﻟﺤﻜﻤﺔﻭﻳﺰﻛﻴﻬﻢ
“...yang membaca kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan al-Hikmah serta mensucikan mereka” (QS. Al-Baqarah :129)
ﻳﺘﻠﻮﻋﻠﻴﻬﻢﺍﻳﺘﻪﻭﻳﺰﻛﻴﻬﻢﻭﻳﻌﻠﻤﻬﻢﺍﻟﻜﺘﺐﻭﺍﻟﺤﻜﻤﺔ
“...yang membaca ayat-ayatNya kepada mereka, mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan al-Hikmah” (QS. Al-Jumu’ah : 2)

(d) Perbedaan nakirah (indefinite noun) dan ma’rifah (definte noun), seperti :
ﻓﺎﺳﺘﻌﺬﺑﺎﺍﷲﺇﻧﻪﻫﻮﺍﻟﺴﻤﻴﻊﺍﻟﻌﻠﻴﻢ
“...mohonkanlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Fushshilat : 36)
ﻓﺎﺳﺘﻌﺬﺑﺎﺍﷲﺇﻧﻪﺳﻤﻴﻊﺍﻟﻌﻠﻴﻢ
“...mohonkanlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-A’raf : 200)

(e) Perbedaan bentuk jamak dan tunggal, seperti :
ﻟﻦﺗﻤﺴﻨﺎﺍﻟﻨﺎﺭﺇﻻﺃﻳﺎﻣﺎﻣﻌﺪﺩﺓ
“...Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja.” (QS. Al-Baqarah : 80)
ﻟﻦﺗﻤﺴﻨﺎﺍﻟﻨﺎﺭﺇﻻﺃﻳﺎﻣﺎﻣﻌﺪﺩﺍﺕ
“...Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari yang dapat dihitung.” (QS. Ali-Imran : 24)

(f) Perbedaan penggunaan huruf kata depan, seperti :
ﻭﺇﺫﻗﻠﻨﺎﺍﺩﺧﻠﻮﺍﻫﺬﻩﺍﻟﻘﺮﻳﺔﻓﻜﻠﻮﺍ
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman : Masuklah kamu ke negeri ini, dan makanlah ...” (QS. Al-Baqarah : 58)
ﻭﺇﺫﻗﻴﻞﻟﻬﻢﺍﺳﻜﻨﻮﺍﻫﺬﻩﺍﻟﻘﺮﻳﺔﻭﻛﻠﻮﺍ
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman : Masuklah kamu ke negeri ini, dan makanlah ...” (QS. Al-A’raf : 161)

(g) Perbedaan penggunaan kosa kata, seperti :
ﻗﺎﻟﻮﺍﺑﻞﻧﺘﺒﻊﻣﺎﺃﻟﻔﻴﻨﺎﻋﻠﻴﻪﺃﺑﺈﻧﺎ
“Mereka berkata : Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati (alfayna) dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (QS. Al-Baqarah : 170)
ﻗﺎﻟﻮﺍﺑﻞﻧﺘﺒﻊﻣﺎﻭﺟﺪﻧﺎﻋﻠﻴﻪﺃﺑﺈﻧﺎ
“Mereka berkata : Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati (wajadna) dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (QS. Luqman : 21)

(h) Perbedaan penggunaan idgham (memasukkan satu huruf ke huruf lain), seperti :
ﺫﻟﻚﺑﺄﻧﻬﻢﺷﺎﻗﻮﺍﺍﷲﻭﺭﺳﻮﻟﻪﻭﻣﻦﻳﺸﺎﻕﺍﷲﻓﺈﻥﺍﷲﺷﺪﻳﺪﺍﻟﻌﻘﺎﺏ
“Yang demikian ini adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasulnya, barang siapa menentang (yusyaqq) Allah, maka sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al-Hasyr : 4)
ﺫﻟﻚﺑﺄﻧﻬﻢﺷﺎﻗﻮﺍﺍﷲﻭﺭﺳﻮﻟﻪﻭﻣﻦﻳﺸﺎﻕﺍﷲﻭﺭﺳﻮﻟﻪﻓﺈﻥﺍﷲﺷﺪﻳﺪﺍﻟﻌﻘﺎﺏ
“Yang demikian ini adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasulnya. Barang siapa menentang (yusyaqiq) Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al-Hasyr : 4)

Dalam mengadakan perbandingan antara ayat-ayat yang berbeda redaksi tersebut di atas, ditempuh beberapa langkah : (1) menginventa-risasi ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama atau yang sama dalam kasus berbeda, (2) Mengelompokkan ayat-ayat itu berdasarkan persamaan dan perbedaan redaksinya, (3) Meneliti setiap kelompok ayat tersebut dan menghubungkannya dengan kasus-kasus yang dibicarakan ayat bersangkutan, dan (4) Melakukan perbandingan.

§ Membandingkan ayat dengan Hadits;
Mufasir membandingkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hadits Nabi saw yang terkesan bertentangan. Dan mufasir berusaha untuk menemukan kompromi antara keduanya. Contoh perbedaan antara ayat al-Qur’an surat al-Nahl/16 : 32 dengan hadits riwayat Tirmidzi dibawah ini :
ﺍﺩﺧﻠﻮﺍﺍﻟﺠﻨﺔﺑﻤﺎﻛﻨﺘﻢﺗﻌﻤﻠﻮﻥ
“Masuklah kamu ke dalam surga disebabkan apa yang telah kamu kerjakan” (QS. Al-Nahl : 32)
ﻟﻦﻳﺪﺧﻞﺃﺣﺪﻛﻢﺍﻟﺠﻨﺔﻳﻌﻤﻠﻪ﴿ﺭﻭﺍﻩﺍﻟﺘﺮﻣﺬﯼ﴾
“Tidak akan masuk seorang pun diantara kamu ke dalam surga disebabkan perbuatannya” (HR. Tirmidzi)
Antara ayat al-Qur’an dan hadits tersebut di atas terkesan ada pertentangan. Untuk menghilangkan pertentangan itu, al-Zarkasyi mengajukan dua cara :
Pertama, dengan menganut pengertian harfiah hadits, yaitu bahwa orang-orang tidak masuk surga karena amal perbuatannya, tetapi karena ampunan dan rahmat Tuhan. Akan tetapi, ayat di atas tidak disalahkan, karena menurutnya, amal perbuatan manusia menentukan peringkat surga yang akan dimasukinya. Dengan kata lain, posisi seseorang di dalam surga ditentukan amal perbuatannya. Pengertian ini sejalan dengan hadits lain, yaitu :
ﺇﻥﺃﻫﻞﺍﻟﺠﻨﺔﺇﺫﺍﺩﺧﻠﻮﻫﺎﻧﺰﻟﻮﺍﻓﻴﻬﺎﺑﻔﻀﻞﻋﻤﻠﻬﻢ﴿ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﯼ﴾
“Sesungguhnya ahli surga itu, apabila memasukinya, mereka mendapat posisi di dalamnya berdasarkan keutamaan perbuatannya”. (HR. Tirmidzi)
Kedua, dengan menyatakan bahwa huruf ba’ pada ayat di atas berbeda konotasinya dengan yang ada pada hadits tersebut. Pada ayat berarti imbalan, sedangkan pada hadits berarti sebab.



§ Membandingkan pendapat para mufasir.
Mufasir membandingkan penafsiran ulama tafsir, baik ulama salaf maupun ulama khalaf, dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, baik yang bersifat manqul (al-tafsir al-ma’tsur) maupun yang bersifat ra’yu (al-tafsir bi al-ra’yi).
Manfaat yang dapat diambil dari metode tafsir ini adalah : 1) membuktikan ketelitian al-Qur’an; 2) membuktikan bahwa tidak ada ayat-ayat al-Qur’an yang kontradiktif; 3) memperjelas makna ayat; dan 4) tidak menggugurkan suatu hadits yang berkualitas sahih.
Sedang dalam hal perbedaan penafsiran mufasir yang satu dengan yang yang lain, mufasir berusaha mencari, menggali, menemukan, dan mencari titik temu di antara perbedaan-perbedaan itu apabila mungkin, dan mentarjih salah satu pendapat setelah membahas kualitas argumentasi masing-masing.
Ø Ciri-ciri Metode Muqarin
Perbandingan adalah ciri utama bagi Metode Komparatif. Disini letak salah satu perbedaan yang prinsipil antara metode ini dengan metode-metode lain. Hal ini disebabkan karena yang dijadikan bahan dalam memperbandingkan ayat dengan ayat atau ayat dengan hadits, adalah pendapat para ulama tersebut dan bahkan dalam aspek yang ketiga. Oleh sebab itu jika suatu penafsiran dilakukan tanpa membandingkan berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tafsir, maka pola semacam itu tidak dapat disebut “metode muqarrin”.

(d) Metode Mawdhu’iy (Tematik)
Ø Pengertian
Yang dimaksud dengan metode mawdhu’iy ialah membahas ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan, dihimpun. Kemudian dikahi secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya seperti asbab al-nuzul, kosa kata dan sebagainya. Semuanya dijelaskan secara rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah; baik argumen itu berasal dari Al-Qur’an dan Hadits, maupun pemikiran rasional.

Ø Ciri-ciri Metode Mawdhu’iy
Yang menjadi ciri utama metode ini ialah menonjolkan tema, judul atau topik pembahasan; sehingga tidak salah bila di katakan bahwa metode ini juga disebut metode “topikal”. Jadi mufasir mencari tema-tema atau topik-topik yang ada si tengah masyarakat atau berasal dari Al-Qur’an itu sendiri, ataupun dari yang lain. Kemudian tema-tema yang sudah dipilih itu dikaji secara tuntas dan menyeluruh dari berbagai aspek, sesuai dengan kapasitas atau petunjuk yang termuat di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan tersebut. Artinya penafsiran yang diberikan tak boleh jauh dari pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an, agar tidak terkesan penafsiran tersebut berangkat dari pemikiran atau terkaan belaka (al-Ra’y al-Mahdh).
Sementara itu Prof. Dr. Abdul Hay Al-Farmawy seorang guru besar pada Fakultas Ushuluddin Al-Azhar, dalam bukunya Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Mawdhu’i mengemukakan secara rinci langkah-langkah yang hendak ditempuh untuk menerapkan metode mawdhu’i. Langkah-langkah tersebut adalah :
(a) Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik);
(b) Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut;
(c) Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab al-nuzulnya;
(d) Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing;
(e) Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (out-line);
(f) Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan dengan pokok bahasan;
(g) Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang ‘am (umum) dan yang khas (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perdebatan atau pemaksaan. [25]

C. ANALISIS
Yang paling populer dari keempat metode penafsiran yang disebutkan di atas, menurut Dr. Quraish Shihab[26] adalah metode tahliliy, dan metode mawdhu’iy. Namun begitu dari beberapa tokoh analis Islam, kedua metode tersebut disamping mempunyai kelebihan disatu sisi, pada sisi yang lain mempunyai kelemahan-kelemahan.
Metode tahliliy atau yang dinamai oleh Baqir Al-Shadr sebagai metode tajzi’iy.[27] Walaupun sangat luas – karena menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai segi – namun tidak menyelesaikan satu pokok bahasan, karena seringkali satu pokok bahasan diuraikan sisinya atau kelanjutannya, pada ayat lain. Pemikir Al-Jazair kontemporer, Malik bin Nabi, menilai bahwa upaya para ulama menafsirkan Al-Qur’an dengan metode tahliliy itu, tidak lain kecuali dalam rangka upaya mereka meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukjizatan Al-Qur’an.[28] Terlepas dari bernar tidaknya pendapat Malik tersebut, namun yang jelas kemukjizatan Al-Qur’an tidak ditujukan kecuali kepada mereka yang tidak percaya. Hal ini dapat dibuktikan dengan memperhatikan rumusan definisi mukjizat di mana terkadang di dalamnya unsur tahaddiy (tantangan), sedangkan seorang Muslim tidak perlu ditantang karena dengan keislamannya ia telah menerima. Bukti kedua dapat dilihat dari teks ayat-ayat yang berbicara tentang keluarbiasaan Al-Qur’an yang selalu dimulai dengan kalimat ﺇﻧﻜﻨﺘﻢﻓﻰﺭﻴﺐ atau ﺇﻧﻜﻨﺘﻢﺻﺪﻗﻴﻦ.
Kalau tujuan penggunaan metode tahliliy seperti yang diungkapkan Malik di atas, maka terlepas dari keberhasilan atau kegagalan mereka, yang jelas untuk masyarakat Muslim dewasa ini, paling tidak persoalan tersebut bukan lagi merupakan persoalan yang mendesak. Karenanya, untuk masa kini, pengembangan metode penafsiran menjadi amat dibutuhkan, apalagi jika kita sependapat dengan Baqir Al-Shadr – Ulama’ Syi’ah Irak itu – yang menilai bahwa metode tahliliy telah menghasilkan pandangan-pandangan parsial serta kontradiktif dalam kehidupan umat Islam.[29] Dapat ditambahkan bahwa para penafsir yang menggunakan metode tahliliy tidak jarang hanya berusaha menemukan dalil atau lebih tepat dalih pembenaran pendapatnya dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Selain itu, terasa sekali bahwa metode ini tidak mampu memberi jawaban tuntas terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi sekaligus tidak banyak memberi pagar-pagar metodologis yang dapat mengurangi subjektivitas mufasirnya.
Kelemahan lain yang dirasakan dalam tafsir-tafsir yang menggunakan metode tahliliy dan yang masih perlu dicari penyebabnya – apakah pada diri kita atau metode mereka – adalah bahwa bahasa-bahasanya dirasakan sebagai “mengikat” generasi berikutnya. Hal ini mengacu kepada penafsiran persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam masyarakat mereka, sehingga uraian yang bersifat teoritis dan umum itu mengesankan bahwa itulah pandangan Al-Qur’an untuk waktu dan tempat.[30]
Sedang metode mawdhu’iy yang mana mufasirnya berupaya menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai surah dan yang berkaitan dengan persoalan atau topik yang ditetapkan sebelumnya. Kemudian, penafsir membahas dan menganalisis kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.
Beberapa keistemewaan metode mawdhu’iy antara lain : (1) Menghindari problem atau kelemahan metode lain; (2) Menafsirkan ayat dengan ayat atau dengan hadits Nabi, satu cara terbaik dalam menafsirkan Al-Qur’an; (3) Kesimpulan yang dihasilkan mudah dipahami;[31] dan (4) Metode ini memungkinkan seseorang untuk menolak anggapan adanya ayat-ayat yang bertentangan dalam Al-Qur’an. Ia sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat-ayat Al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat.
Disamping itu ketika metode mawdhu’iy disandingkan dengan metode-metode lain, maka akan muncul perbedaan-perbedaan. Perbedaan tersebut antara lain :




Ø Perbedaan Metode Mawdhu’iy dengan Metode Analisis


Metode Mawdhu’iy
Metode Analisis
Ø Mufasir dalam penafsirannya tidak terikat dengan susunan ayat dalam mush-haf, tetapi lebih terikat dengan urutan masa turunnya ayat atau kronologis kejadian
Ø Mufasir tidak membahas segala segi permasalahan yang dikandung oleh satu ayat, tapi hanya yang berkaitan dengan pokok bahasan atau judul yang ditetapkannya
Ø Mufasir dalam pembahasannya tidak mencantumkan arti kosakata, sebab nuzul, munasabah ayat dari segi sistematika perurutan, kecuali dalam batas-batas yang dibutuhkan oleh pokok bahasannya.
Ø Mufasir berusaha untuk menuntaskan permasalahan-permasalahan yang menjadi pokok bahasannya.
Ø Mufasir memperhatikan susunan sebagaimana tercantum dalam mush-haf.


Ø Mufasir berusaha untuk berbicara menyangkut segala sesuatu yang ditemukannya dalam setiap ayat


Ø Sebaliknya





Ø Mufasir biasanya hanya mengamukakan penafsiran ayat-ayat secara berdiri sendiri, sehingga persoalan yang dibahas menjadi tidak tuntas, karena ayat yang ditafsirkan seringkali ditemukan kaitannya dalam ayat lain pada bagian lain surat tersebut, atau dalam surat yang lain.

Ø Perbedaan Metode Mawdhu’iy dengan Metode Komparasi
Contoh perbedan antara metode mawdhu’iy dengan metode komparasi, adalah yang khusus membandingkan antara ayat dengan ayat seperti ayat :

§ Surat Al-An’am ayat 151 :
ﻭﻻﺗﻘﺘﻠﻮﺁﺍﻭﻻﺩﻛﻢﻣﻦﺇﻣﻼﻕﻃ ﻧﺤﻦﻧﺮﺯﻗﻜﻢﻭﺍﻳﺎﻫﻢ
§ Surat Al-Isra’ ayat 31 :
ﻭﻻﺗﻘﺘﻠﻮﺁﺍﻭﻻﺩﻛﻢﺧﺸﻴﺔﺇﻣﻼﻕﻃ ﻧﺤﻦﻧﺮﺯﻗﻬﻢﻭﺍﻳﺎﻫﻢ
Atau perbedaan antara :

§ Surat Al-A’raf ayat 12
ﻗﺎﻝﻣﺎﻣﻨﻌﻚﺍﻻﺗﺴﺠﺪﺍﺫﺍﻣﺮﺗﻚﻃ ﻗﺎﻝﺍﻧﺎﺧﻴﺮﻣﻨﻪ
§ Surat Shad ayat 75
ﻣﺎﻣﻨﻌﻚﺍﻥﺗﺴﺠﺪﻟﻤﺎﺧﻠﻘﺖﺑﻴﺪﻱ






Metode Mawdhu’iy
Metode Komparasi
Ø Mufasir disamping menghimpun semua ayat yang berkaitan dengan masalah yang dibahas, ia juga mencari persamaan-persamaan, serta segala petunjuk yang dikandungnya selama berkaitan dengan pokok bahasan yang ditetapkan.




Ø Mufasir biasanya hanya menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan perbedaan kandungan yang dimaksud oleh masing-masing ayat tersebut atau perbedaan kasus atau masalah
Seperti misal : Al-Khatib Al-Iskafi dalam kitabnya Durrah Al-Tanzil wa Ghurrah Al-Ta’wil, (tidak mengarahkan pandangannya kepada petunjuk-petunjuk yang dikandung oleh ayat-ayat yang dibandingkan)


D. KESIMPULAN DAN PENUTUP

(1) Tafsir terdiri dari empat bagian : pertama, yang dapat dimengerti secara umum oleh orang-orang Arab berdasarkan pengetahuan bahasa mereka; kedua, yang tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak mengetahuinya; ketiga, yang tidak diketahui kecuali oleh ulama; dan keempat, yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.
(2) Ada dua jenis pembatasan dalam tafsir al-Qur’an, yaitu : menyangkut materi ayat-ayat dan menyangkut syarat-syarat penafsiran.
(3) Dalam penafsiran al-Qur’an ada dua bentuk yang selama ini dipakai (diterapkan) oleh para ulama, yaitu : al-Tafsir bi al-Ma’tsur (Riwayat), dan al-Tafsir bi al-Ra’y (Pemikiran)
(4) Secara garis besarnya ada empat cara (metode) penafsiran al-Qur’an yang dipakai sejak dahulu sampai sekarang, yaitu : ijmaliy (global), tahliliy (analistis), muqaran (perbandingan), dan mawdhu’iy (tematik)
(5) Yang paling populer dari keempat metode penafsiran, menurut Dr. Quraish Shihab adalah : metode tahliliy (analistis), dan metode mawdhu’iy (tematik) namun disamping populer menurut para ulama tafsir, metode ini memiliki kelemahan-kelemahan disamping memiliki kelebihan.




DAFTAR PUSTAKA


Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdhu’i, Dirasat Manhajiyyah Mawdhu’iyyah, (1977).
Abdul Hay Al-Famawiy, Dr., Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Maudhu’iy, Al-Hadharah Al-Arabiyah, Kairo, Cetakan II, 1977.
Al-Dzahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Kairo, Dar Al-Kutub Al-Haditsah, 1961.
Ali Al-Awsi, Al-Thabathaba’i wa Manhajuh fi Tafsirih Al-Mizan, Taheran, Al-Jumhuriyyah Al-Islamiyyah fi Iran, 1975.
Bard Al-Din Muhammad Abdullah al-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an, Jilid II, dar al-Fikr, Beirut, 1988.
Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an, Jilid II., Al-Halabiy, Mesir, 1957.
--------------, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, Jilid. I, Beirut, Dar al-Fikr, 1988.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka. 1989.
Hasan Hanafi, Prof. Dr., Al-Yamin wa Al-Yasar fi Al-Fikr Al-Diniy, Madbuliy, Mesir, 1989.
Hassan Shadily, Ensiklopedi Indonesia, Jakarta, PT. Ichtiar Baru – Van Hoeve. t.t.
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia (dari Hermeneutika hingga Ideologi), Jakarta, Teraju Cet. I, 2003.
M. Quraish Shihab, Dr. MA, Membumikan Al-Qur’an (Fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat), Mizan, Bandung, 1994.
Malik bin Nabi, Le Phenomena Quranique, diterjemahkan kedalam bahasa Arab oleh Prof. Dr. Abdussabur Syahin dengan judul Az-Zahirah Al-Qur’aniyah, Dar Al-Fikr, Lebanon, t.t.
Muhammad ‘Abd Al-Azhim Al-Zarqani, Manahil Al-Irfan.
Muhammad Ali Al-Shabuni, A-Tibyan.
Muhammad Baqir Al-Shadr, Al-Tafsir Al-Maudhu’iy wa Al-Tafsir Al-Tajzi’iy fi Al-Qur’an Al-Karim, Dar Al-Ta’ruf lil Matbu’at, Beirut, 1980.
Muhammad Husain Al-Zahabity, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Dar Al-Kutub Al-Haditsah, Mesir, 1961, Jilid I.
Nasharuddin Baidan, Prof. Dr., Rekonstruksi Ilmu Tafsir, Yogyakarta, PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2000
Quraish Shihab, Prof. Dr.. dkk., Sejarah dan Ulum al-Qur’an, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1999.

[1] Muhammad Husain Al-Zahabity, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Dar Al-Kutub Al-Haditsah, Mesir, 1961, Jilid I, hlm. 59.
[2] Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an, Al-Halabiy, Mesir, 1957. Jilid II. hlm. 164
[3] Dr. M. Quraish Shihab, MA, Membumikan Al-Qur’an (Fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat), Mizan, Bandung, 1994. hlm. 78 – 79.
[4] Ibid, hlm. 79
[5] Prof. Dr. Hasan Hanafi, Al-Yamin wa Al-Yasar fi Al-Fikr Al-Diniy, Madbuliy, Mesir, 1989, hlm. 77.
[6] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka. 1989. hlm. 580 – 581.
[7] Hassan Shadily, Ensiklopedi Indonesia, Jakarta, PT. Ichtiar Baru – Van Hoeve. t.t. hlm. 2230.
[8] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op_Cit. Hlm. 103-104.
[9] Bard Al-Din Muhammad Abdullah al-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an, Jilid II, dar al-Fikr, Beirut, 1988. hlm. 200
[10] Ibid. Hlm. 173
[11] Muhammad ‘Abd Al-Azhim Al-Zarqani, Manahil Al-Irfan, hlm. 12.
[12] Al-Dzahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Kairo, Dar Al-Kutub Al-Haditsah, 1961, hlm. 152.
[13] Muhammad Ali Al-Shabuni, A-Tibyan, hlm. 67.
[14] Ali Al-Awsi, Al-Thabathaba’i wa Manhajuh fi Tafsirih Al-Mizan, Taheran, Al-Jumhuriyyah Al-Islamiyyah fi Iran, 1975, hlm. 103
[15] Islah Gusmian, Op_Cit. Hlm. 198
[16] Prof. Dr.Nasharuddin Baidan, Rekonstruksi Ilmu Tafsir, Yogyakarta, PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2000. hlm. 57 – 58.
[17] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia (dari Hermeneutika hingga Ideologi), Jakarta, Teraju Cet. I, 2003. hlm. 196.
[18] Dr. Abdul Hay Al-Famawiy, Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Maudhu’iy, Al-Hadharah Al-Arabiyah, Kairo, Cetakan II, 1977. hlm. 23
[19] Prof. Dr.Nasharuddin Baidan, Op-Cit. hlm. 67 - 77
[20] Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdhu’i, Dirasat Manhajiyyah Mawdhu’iyyah, (1977). hlm. 43 – 44.
[21] Ibid, hlm. 67.
[22] Ibid, hlm. 49.
[23] Prof. Dr. Quraish Shihab. dkk., Sejarah dan Ulum al-Qur’an, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1999. hlm. 186–192.
[24] Al-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, Jilid. I, Beirut, Dar al-Fikr, 1988. hlm. 147 – 169.
[25] ‘Abdul Hay Al-Farmawi, Op_Cit. hlm. 114 – 115.
[26] Dr. M. Quraish Shihab, Op_Cit, hlm. 83-91 dan 11-126
[27] Muhammad Baqir Al-Shadr, Al-Tafsir Al-Maudhu’iy wa Al-Tafsir Al-Tajzi’iy fi Al-Qur’an Al-Karim, Dar Al-Ta’ruf lil Matbu’at, Beirut, 1980, hlm. 10.
[28] Malik bin Nabi, Le Phenomena Quranique, diterjemahkan kedalam bahasa Arab oleh Prof. Dr. Abdussabur Syahin dengan judul Az-Zahirah Al-Qur’aniyah, Dar Al-Fikr, Lebanon, t.t. hlm. 58
[29] Muhammad Baqir Al-Shadr, Op_Cit, hlm. 12.
[30] Dr. M. Quraish Shihab, Op_Cit, hlm. 87.
[31] Hal ini disebabkan karena ia membawa pembaca kepada petunjuk Al-Qur’an tanpa mengemukakan berbagai pembahasan terperinci dalam satu disiplin ilmu. Juga dengan metode ini, dapat dibuktikan bahwa persoalan yang disentuh Al-Qur’an bukan bersifat teoritis semata-mata dan atau tidak dapat membawa kita kepada kehidupan masyarakat. Dengan begitu ia dapat membawa kita kepada pendapat Al-Qur’an atentang berbagai problem hidup disertai dengan jawaban-jawabannya. Ia dapat memperjelas kembali fungsi Al-Qur’an sebagai Kitab Suci.