Photobucket

Jumat, 25 Juli 2008

Nashr Hamid Abu Zaid al-Damanhuriy

I. Asal usul dan kelahiran
Dilahirkan pada 10 Juli 1943 di Kuhafah berhampiran dengan wilayah Tanta Mesir. Pernah diciduk oleh aparat keamanan Mesir saat berumur 12 tahun dikarenakan keterlibatannya dengan jama’ah Ikhwan al Muslimun yang diharamkan oleh Gamal Abdul Nashir bersama-sama para pemimpin gerakan ikhwan.
Pernah belajar di universitas Kairo fakultas bahasa Arab dan Adab dan diselesaikan pada tahun 1972, kemudian menyelesaikan program masternya pada tahun 1977 fakultas dirasat Islamiyah, dan mendapat gelar doktor tahun 1981. Selanjutnya menjadi tenaga pengajar pada universitas berkenaan sebagai guru pembantu tahun 1982 dan menjadi professor pembantu tahun 1987. Pada tahun 1995 mendapat gelar sebagai professor tetapi dikarenakan dakwaan murtad keatasnya maka dibatalkan gelar tersebut oleh majlis tertinggi universitas Kairo. 
Kemurtadan dirinya dari Islam telah diumumkan pada mahkamah Mesir dan diceraikan dari isterinya doktor Ibtihal Yunis (dosen dalam Bahasa Arab pada univesitar Kairo) tahun 1995.
II. Pemikiran Liberal Nasr Hamid Abu Zaid
III. Celaan Nasr Hamid Abu Zaid terhadap para mufassir dan kitab-kitab tafsir
Pada mukaddimah kitab tafsirnya, pemikir liberal ini telah mencela para mufassirin dan kitab tafsir yang ditulis oleh para mufassirin mukhlisin, dia menyipatkan bahwa para mufassir itu telah memanjang-manjangkan dan mengada-ada dalam penafsiran al Quran yang tidak ada asas didalam al Quran. 
Padahal sebagaimana kita ketahui para mufassirin didalam metodologi penulisan tafsir mereka tidak mengabaikan kaedah penafsiran al Quran bil ma’thur - yang merupakan penafsiran yang paling baik dari berbagai metodologi yang pernah ada - (tafsir al Quran dengan al al Quran, tafsir al Quran dengan hadis nabi, tafsir al Quran dengan perkataan para sahabat, tafsir al quran dengan perkataan para tabi’ien) seperti Iman al-Thabari, Al-Qurthubi, Ibu Katsir, Ibnu Hayyan, Tantawiy al-Jauhariy dan sebagainya. Jadi atas dasar apa pemikir liberal ini menuduh dan mencela sedemikian rupa keatas para mufassir yang telah lama diakui oleh dunia Islam akan keikhlasan, kekuatan serta kesahihan penafsiran mereka keatas al Quran?
IV. Metode penafsiran al Quran Nasr Abu Zaid
Metode penafsiran Nasr Hamid Abu Zaid merupakan metode penafsiran tematis, penafsiran ayat dengan ayat lain atau satu surat dengan surat lain yang memiliki kemiripan atau kesamaan makna, dengan mengemukakan dalil-dalil kawniyah (penciptaan) serta disiplin (sunnatullah) yang ada pada masyarakat, sebagai penguat dengan mengetepikan hadis nabi sebagai sumber kedua setelah al Quran dan sebagai mubayyin keatas mubayyan (al Quran). Surat al Nahl ayat ke 44. 
Sebagai contoh Nasr Hamid Abu Zaid menafsirkan firman Allah swt surat al Nur ayat ke 63 :
Artinya : Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.
Nasr berpendapat bahwa pelanggaran yang diharamkan oleh Allah swt yaitu pelanggaran dalam perkara yang bertentangan dengan perintah Allah swt saja, manakala pelanggaran yang didasarkan oleh pemikiran atau al ra’yu atau berbeda pendapat dengan nash-nash al Quran untuk kemaslahatan tidaklah termasuk kedalam kategori pelanggaran atau infraksi terhadap hukum-hukum Allah swt, bahkan ia merupakan sebuah hikmah.
&nbs yang tidak dimiliki oleh manusia yang lainnya seperti mukjizat atau perkara yang luar biasa yang tidak dapat dilakukan oleh manusia biasa dan ia tidak dapat juga dipelajari serta dijadikan satu pertunjukan pada masa-masa yang telah ditentukan atau kita sebut sebagai the show of miracle. 
Namun demikian pemikir liberal ini tidak sepakat dan tidak sependapat dengan ijma atau konsesi ulama terhadap kebenaran mukjizat para nabi dan keberadaannya, ia bahkan menafikan serta mengingkarinya. 
Dia berpendapat bahwa tidak ada keistimewaan antara para nabi dengan manusia biasa, bahkan mukjizat yang para nabi miliki itu bukan mukjizat, karena manusia biasa dapat mendatangkan seperti apa yang mereka datangkan.
VI. Beberapa contoh pengingkaran terhadap mukjizat
A. Pengingkaran terhadap mukjizat nabi Isa as
Nasr menafsirkan firman Allah swt pada surat al Maidah ayat ke 110 :
Artinya : “Dan (ingatlah pula) diwaktu kamu membentuk dari tanah (suatu bentuk) yang berupa burung dengan ijin-Ku, kemudian kamu meniup kepadanya, lalu bentuk itu menjadi burung (yang sebenarnya) dengan seizin-Ku. dan (ingatlah) di waktu kamu menyembuhkan orang yang buta sejak dalam kandungan ibu dan orang yang berpenyakit sopak dengan seizin-Ku, dan (Ingatlah) di waktu kamu mengeluarkan orang mati dari kubur (menjadi hidup) dengan seizin-Ku “.
Nasr Abu Zaid mengatakan : “dari sini anda dapat mengerti bahwa Isa as telah diutus kepada Bani Israil untuk menyembuhkan jiwa-jiwa mereka dan menghidupkan hati-hati mereka. Dia (Isa as) juga hidup dan mati sebagaimana manusia biasa, maka tidak ada sesuatu apapun yang menjadikan dia sebagai seorang yang luar biasa dan tidak juga memiliki keistimewaan (mukjizat-pen)”.
Padahal menurut pemahaman para mufassirin ahlu sunnah wa al jama’ah keseluruhan diantaranya imam Fakhruddin al-Raziy (al-tafsir al Kabir), demikian juga Ismail bin Umar bin Katsir al Damsqiy Abu Al-Fida (tafsir Ibnu Katsir) dan lain-lain mufassririn al muhtadiin, mereka berpendapat bahwa nabi Isa as benar-benar telah menghidupkan orang yang sudah mati dan menyembuhkan orang yang sakit dengan izin Allah swt. 
Sebagaimana diketahui bahwa setiap mukjizat para nabi itu diturunkan sesuai dengan keadaan masyarakat zamannya. Dizaman nabi Isa as, masyarakat pada masa itu dikenal sebagai masyarakat yang memiliki kehebatan dalam ilmu menangani penyakit atau ilmu kedokteran. Namun dalam kehidupan keagamaan, mereka sudah jauh terpesong dari ajaran taurat, sehingga diutuslah kepada mereka itu nabi Isa as untuk meluruskan mereka agar kembali kepada kehidupan yang beragama sesuai dengan ajaran Injil yang dibawa olehnya, dan dikuatkan pula dengan mukjizat untuk meyakinkan masyarakat akan kebenaran risalah yang dibawa.
Beliau dapat menyembuhkan peyakit sopak serta menghidupkan orang yang sudah mati, demikianlah mukjizat yang diberikan oleh Allah kepadanya. Kalaulah kemampuan nabi Isa as dalam merawat pesakit adalah setaraf dengan kemampuan manusia biasa pada waktu itu, maka sudahlah tentu beliau tidak dapat menarik perhatian kaumnya dan mereka tidak dapat mengakui kebenaran risalah yang dibawa olehnya. 
Dalam hal ini akan terjadilah kesia-siaan keatas risalah serta dakwah yang ditaklifkan kepadanya, padahal Allah swt mengutus para nabi bukan untuk satu kesia-siaan, karena Allah swt terlepas dari sifat yang demikian. Apa yang Allah swt miliki adalah kebenaran, demikian pula apa-apa yang diciptakan olehNya bukanlah satu perkara bermain-main. Dengan alasan itu, setiap insan tidak akan terlepas dari pertanggung jawaban serta pertanyaan dan penghitungan amalan saat mereka menghadap sang Khalik di akherat kelak. 
Mari kita renungkan wahai sahabat, bagaimana Allah al Khalik itu telah menjelaskan kepada kita dan menegur nurani kita akan kebenaran ini. Simaklah surat al Qiyamah ayat ke 36 : 
Artinya : “Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?”
Nasr Abu Zaid menafsirkan bahwa kalimat “al-hajar” pada ayat diatas boleh jadi hanyalah nama suatu tempat. Maka maksud ayat diatas ialah, bahwa Allah swt telah menunjukkan satu tempat yang keluar air padanya, dan nabi Musa as tidak disuruh untuk memukul sebuah batu yang kemudian keluar daripadanya dua belas mata air yang memancar. 
Nasr Abu Zaid memahami perkataan “al-hajar” pada ayat tadi bukanlah sebuah batu seperti apa yang difahami oleh seluruh mufassirin dan orang-orang Arab serta mereka yang memahami Bahasa Arab. Tetapi perkataan “al-hajar” pada ayat tadi menurutnya adalah “mungkin” hanyalah nama sebuah tempat, padanya ada mata air yang memancar. 
Intinya dia berusaha dengan sedaya upaya atau boleh dikatakan mati-matian untuk menafikan mukjizat yang diberikan kepada nabi Musa as.
Dimanakah letak ketidakjelasan kata-kata al Quran itu, manakala ia diturunkan dan dihidangkan kedalam bahasa sangat mudah untuk difahami oleh setiap insan yang berakal, walaupun setiap kata-katanya memiliki nilai sastra yang tiada bandingannya.
Allah swt al Khalik itu telah menjamin akan hal itu seperti yang telah tercetak dan tertera didalam surah Yusuf : 2, al Nahl : 103, al Syu’ara’ : 195, al Zumar : 28, Toha : 113, al Syura : 7, Fushilat : 3, al Ra’d : 37, al Zukhruf : 3, al Ahkaf : 12 dan al Qomar : 32 dan 40.
Tidaklah mereka yang berbuat demikian itu terhadap al-Quran, melainkan mereka orang-orang yang telah memandang rendah akan perkataan Allah atau firmanNya, mereka telah dengan sengaja mengunci mati pintu-pintu hati mereka untuk menolak kebenaran, sedangkan ia sadar bahwa apa yang disampaikan itu adalah kebenaran. Manakala hatinya sentiasa menyukai yang benar, mengatakan kebenaran dan bahwa setiap kebenaran itu sangat mudah difahami dan dapat diterima oleh hati-hati yang masih bersih. Bahkan hati yang dikatakan sudah gelap gulita-pun masih lagi mengatakan bahwa kebenaran itu sangat indah dan cemerlang sinarnya serta kejahatan itu sangat busuk dan berakibat yang sangat menyedihkan di dunia dan akherat kelak.
Merekalah orang-orang yang berpenyakit pada hatinya. Penyakit lemah iman, sehingga menimbulkan rasa dengki dan iri hati serta dendam terhadap ajaran Allah swt. Mari kita dengarkan Allah swt menggambarkan akan perihal mereka itu didalam surat al-Baqarah ayat ke 10:
Artinya: “Dalam hati mereka ada penyakit lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta”.
Walaupun hakikat ayat diatas merupakan sebuah permisalan yang digambarkaan oleh Allah swt terhadap sifat dan watak serta perangai munaafiqiin Arab dizaman nabi Muhammad saw, tetapi pada hakikatnya ada kesamaan dengan perangai, watak dan hati golongan manusia-manusia liberal yang ada pada zaman ini. 
Hati mereka berpenyakit, penyakit lemah iman, penyakit yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang dungu dan pandir. Mereka menghalalkan apa yang haram serta mengharamkan apa yang halal. Merekalah orang-orang munafik yang menunggangi agama Islam dan bertopeng kebebasan, yang intinya menginginkan kehancuran keatas sendi-sendi ajaran Islam yang pada akhirnya menghancurkan umatnya dari dalam seperti apa yang terjadi dengan mereka-mereka yang beragama Yahudi dan Kristen pada saat ini, yang hampir tidak dapat membedakan mana yang halal dan mana yang haram, mana baik mana buruk dalam urusan kehidupan beragama. 
C. Pengingkaran terhadap mukjizat nabi Ibrahim as
Nasr telah menafsirkan firman Allah swt didalam al Quran surat al Anbiya ayat ke 69 :
Artinya : “Kami berfirman: “Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim”.
Nasr menjelaskan didalam tafsirnya (Al-Hidayah wa al-Irfan fi tafsir al-Quran bi al-Quran) bahwa nabi Ibrahim as tidaklah dibakar didalam api oleh kaumnya yang ingkar (sebagaimana yang difahami oleh para mufassirin-pen). Akan tetapi, Allah swt telah menyelamatkan nabi Ibrahim as dari bencana dibakar hidup-hidup dengan memerintahkannya untuk berhijrah kesuatu tempat, sehingga usaha kaumnya untuk membakar nabi Ibrahim as hidup-hidup telah menemui kegagalan.
Dimanakah letak kesia-siaan perkataan Allah swt didalam ayat diatas tadi? Manakala al-Quran tidak ada padanya satu kesilapan atau kesia-siaan dari sisi manapun jua adanya. Allah swt telah menegaskan akan perkara ini didalam surat Fushilat ayat ke 42 :
Artinya: “Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji”.
Allah swt tidak hanya mengatakan al-Quran itu tidak ada kebatilan atau kesia-siapa pada setiap perkataan-perkataannya, susunannya ayat-ayatnya dan urutan surat-suratnya, akan tetapi demi kebenaran yang serta kesahihan yang ada padanya, Allah swt menambahkan dengan berita, bahwa al-Quran itu datang dari Allah swt yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji pada akhir ayat tadi, untuk menguatkan akan betapa ia bebas dari segala perkara yang membingungkan ataupun kesilapan. 
Oleh sebab apakah dinafikan serta disia-siakan kalimat “Yaa naaru kuuniiy bardan wa salaaman ‘alaa Ibrahiim??!!” Kalaulah bukan terbit dari kejahilan yang nyata ataupun kebenaran yang sengaja disembunyikan??!! Ataupun hati-hati yang berpenyakit.
Kita tidak memiliki pendapat yang lain dalam hal ini, melainkan apa yang telah dijelaskan pada pendirian kita seperti yang telah dijelas diatas tadi, bahwa tidak ada kesilapan perkata didalam al Quran dan tidaklah mereka mengingkari dan mentahrifkan al Quran melainkan mereka yang memiliki akidah mulhidun ataupun atheisme maupun munafiquun serta kedunguan yang nyata.
D. Pengingkaran terhadap mukjizat nabi Dawud as
Pemikir liberal ini Nasr Hamid Abu Zaid telah menafsirkan firman Allah dalam surat al Anbiya’ ayat ke 79 : 
Artinya : menta’wilkan maksud ayat berkenaan sesuai dengan keinginanannya yang sesat, sehingga seakan-akan ayat-ayat suci itu benar-benar telah menguatkan pendapatnya yang terpesong itu. Inilah yang kita katakan sebagai ilmu hermeunetik didalam penafsiran kitab-kitab samawiy, dan tidak ada hermeunetik didalam al Qur’an karena tidak ada perkara yang diragui akan kebenaran al Qur’an itu. Karena hermeunetik itu sendiri lebih kepada satu sikap atau tindakan yang dibuat-buat dan sekali lagi ayat-ayat al-Quran tidak ada yang perlu untuk dibuat-buat dalam memahaminya.
Betapalah dirinya berusaha menutupi kebenaran al-Quran itu???!!! Betapalah dia berusaha menggelapkan ayat-ayat yang jelas dan terang itu???!!! Betapalah ia berusaha memadamkan cahaya kebenaran yang terlintas didalam hati dan fikirannya itu???!!!
Artinya : “Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan- ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahayanya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai”. (Q.S. Al-Taubah:32)
Bila dicari hidayah itu tidaklah ia melainkan ada tersemai di jiwamu
Kejahilan diatas kejahilan menimpa menutupi kebenaran karena nafsu
Padahal janganlah kebathilan itu dikejar karena ia pasti akan membinasakan 
E. Pengingkaran terhadap mukjizat nabi Sulaiman as
Nasr Abu Zaid terlah menafsirkan makna penguasaan Sulaiman as keatas angin sebagai mukjizat yang Allah swt berikan kepadanya. Firman Allah swt pada surat al-Anbiya ayat ke 81:
Artinya : “Dan (telah kami tundukkan) untuk Sulaiman angin yang sangat kencang tiupannya yang berhembus dengan perintahnya ke negeri yang kami Telah memberkatinya dan adalah kami Maha Mengetahui segala sesuatu”.
Dia menjelaskan lagi didalam kitabnya, maksud firman Allah yang berbunyi “Tajriy bi amrihi” yaitu: udara dikuasai dan dapat diarahkan oleh negara-negara maju seperti negara-negara Eropa dalam hal penggunaan telepon dan telegraph. 
Pemahaman Nasr Abu Zaid dari tafsirannya diatas menggambarkan bahawa dizaman nabi Sulaiman as sudah ada telefon ataupun telegram dalam artian telefon sudah jauh sebelum manusia modern menemukan telefon. Ini satu kepandiran yang menjengkelkan dan pembohongan yang nyata!!!
Yang diinginkan oleh pemikir liberal ini tentulah mencari bukti kebenaran akan dakwaan yang dibuat olehnya bahwa tidak ada mukjizat yang dimiliki oleh para nabi, walaupun dengan mengorbankan kesahihan al-Quran dan pada dasarnya dia telah mengorbankan keimanan dan kehidupan akhiratnya. 
F. Pengingkaran terhadap mukjizat Isra dan Mi’raj nabi Muhammad saw
Kalau pada perbincangan terdahulu kita menceritakan pengkingkaran Nasr terhadap para nabi-nabi sebelum datangnya Islam, maka disini kita juga akan memaparkan pendapat Nasr Abu Zaid mengenai mukjizat nabi akhir zaman yang telah membawa risalah penutup telah menafsirkan firman Allah swt pada surat al-Isra, ayat ke 1 :
VI. Ijtihad rusak Nasr Hamid Abu Zaid terhadap hukum Fiqh
Setelah kita segarkan pemikiran Nasr Abu Zaid mengenai pengingkarannya terhadap mukjizat yang merupakan sendi-sendi akidah umat Islam, maka berkeinginan pula saya untuk mengisahkan beberapa pandangan Nasr Abu Zaid mengenai ijtihadnya terhadap huku-hukum fiqh, yang merupakan aturan hidup yang wajib dijalankan oleh umat manusia untuk meraih kesejahteraan di dunia dan kejayaan di akhirat nanti.
A. Hudud mencuri
Nasr Hamid Abu Zaid menafsirkan surat al-Maidah ayat ke 38 :
Artinya : “Dan laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya”. 
Nasr menafsirkankan bahwa maksud kalimat “al saariqu wa al saariqatu” yaitu mereka yang terbiasa mencuri, dalam artian kalau seseorang baru sekali mencuri atau dua kali, kemudian tidak mencuri lagi, maka dia tidak dikenakan hukum hudud atau potong tangan, karena kalau dikenakan juga maka akan menyebabkan kekurang upayaan keatasnya karena kehilangan tangan. 
Tidak ada ayat yang mengecualikan dalam hal hudud itu, darimana datangnya pengertian hanya kalau satu atau dua kali tidak dikenakan hukum hudud. 
Mungkin menurut Nasr disini bahwa sebagai ukuran maksimal seorang pencuri yang diwajibkan potong tangan yaitu jika dia telah mencuri lebih dari dua kali, ataupun perbuatan kriminal itu sudah menjadi satu kebiasaan baginya!!! 
Athiyah Saqar didalam kitab “Fatawa al Al-Azhar” pada bab “Hadd al Sariqah” menjelaskan tidak semua yang mencuri itu akan dipotong tangan melainkan jika telah memenuhi syarat keatas pelaku dan syarat keatas barang yang dicuri seperti berikut:
a. syarat keatas pelaku 
1. Baligh atau dewasa
2. Berakal
3. Merdeka
b. Syarat keatas barang yang dicuri 
1. Berupa hak milik
2. Senilai dengan satu nisab wajib zakat yaitu 58 gram emas
3. Barang itu berada pada tempat yang terjaga
Dalam hal ini, pendapat Athiyah Saqar lebih layak untuk diterima, karena fatwanya tidak bertentangan dengan desiran hati nurani dan akal yang masih hidup.
Bahkan para sahabat dan semua penganut mazhab ahli sunnah wa al Jama’ah telah sepakat untuk tetap memotong tangan seorang pencuri, dengan tidak ditentukan berapa kalikah pencuri itu mencuri. Dijelaskan didalam kitab “Musykil al Athar li Athawiy, bab Laa Qishasha fi al Lathamah”, bahwa nabi Muhammad saw telah mengancam akan memotong tangan putrinya Fatimah radhiallau ‘anha jika beliau mencuri!!!. Rasulullah tidak mengecualikan berapa kali seorang pencuri itu mencuri baru boleh dikenakan hadd potong tangan.
Tergambarkan sudah bahwa apa yang dilakukan oleh para sahabat itu benar-benar merupakan satu pengaplikasian ataupun satu bayang-bayang ajaran Rasulullah saw sebagai seorang mufassir dan muwaddih keatas ayat-ayat Allah swt yang terukir didalam al-Quran yang mulia, dan Allah sendiri yang telah melantik beliau untuk menafsirkan ayat-ayatNya kepada para sahabat dan juga umat (Q.S. al-Nahl:44).
B. Hudud Zina
Setelah menyatakan bahwa pencuri yang wajib dikenakan hadd potong tangan itu hanyalah bagi mereka yang memiliki kebiasan mencuri atau mencuri sebagai profesi. Kemudian Nasr Abu Zaid menenggelamkan pemikirannya kedalam perkara lebih berbahaya lagi dan lebih besar pengaruh kerusakannya dimasyarakat yaitu membolehkan melakukan zina baik itu dilakukan oleh mereka yang masih membujang maupun yang sudah kawin (menyeleweng).
Nasr Abu Zaid telah menafsirkan firman Allah swt dalam surat al-Nur ayat ke 02 :
Artinya : “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera”.
Dia menyatakan seperti berikut, bahwa kalimat “al-zaaniyatu wa al-zaani” merupakan sifat yang dimiliki oleh seorang laki-laki ataupun perempuan dan perbuatan zina itu sudah menjadi satu kebiasan bagi mereka berdua, dengan demikian barulah mereka berhak untuk dicambuk (hadd zina).
Dengan pembolehan berzina oleh Nasr Abu Zaid, saya berpendapat bahwa dia dengan pernyataannya itu telah membolehkan juga bagi orang-orang yang berstatus suami isteri untuk berzina, dengan syarat perbuatan bejat itu bukanlah satu kebiasaan mereka.
Wahai mereka yang memiliki akal yang sehat dan nurani yang cerah secerah matahari, renungkan olehmu dengan jiwamu dengan pemikirnmu dan dengan akalmu betapa besar pintu kehancuran yang telah dibuka oleh manusia dajjal satu ini, dan betapa manusia satu ini telah mengahalalkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan rasul Nya??!!! Manusia satu ini telah menghalalkan sebuah dosa besar untuk peraktekkan!!! Betapalah manusia satu ini telah mendeklarasikan dirinya sebagai syaithan yang memberikan kesempatan kepada umat ini untuk berzina!!!
Dengarkan hatimu wahai saudara, selamilah jiwa murnimu wahai sahabat, kamu dapatkan dia sedang berkata-kata tentang kebenaran dan hak, kemudian saya bertanya kepadamu wahai saudaraku, dan kepadamu wahai sahabatku, juga kepadamu wahai adik-adik generasiku : “Relakah engkau, jika kedua orang tuamu, isteri-isterimu, suami-suamimu, anak-anakmu, saudara-saudaramu berzina walau hanya sekali??!!”. Tentulah hatimu akan merasa kesal dan sakit dengan perkara itu, karena demikianlah hatimu yang selalu menolak keburukan dan segala sikap yang tidak senonoh!!!
Saya mencurigai Nasr Abu Zaid memiliki agenda merusak umat ini dari dalam tubuh mereka, disebabkan karena kejahilan serta kedunguannya dan nafsu jahatnya ataupun karena sokongan para musuh-musuh Islam dengan memperalat dirinya dengan iming-imingan kedudukan dan kekayaan yang hanya bersifat sementara. Sementara setiap jiwa pasti akan mati dan akan mempertanggungjawabkan segala kerusakan yang telah disebarkan olehnya dimuka bumi ini???!!!. 
Rasulullah saw bersabda : “Barang siapa yang mengajarkan satu kejahatan kemudian ianya menjadi ikutan orang-orang (bersamanya atau setelahnya-pen) maka baginya dosanya dan dosa orang-orang yang melakukannya (ajaran jahatnya-pen), tidak dikurangkan sedikitpun dosanya dari para pelakukanya. (H.R. Ibnu Majah). Adakah setiap insan mampu menanggung segala kepedihan hidup dialam kubur sebab dosa-dosanya itu, kalau ia dinampakkan? Jikalah sudah tidak mampu bertahan dengan akibat perbuatan dosa sendiri…maka bagaimana dengan dosa-dosa orang lain yang sentiasa datang dan menambah-nambah beban dosa diri sendiri yang sudah tidak dapat dipikul itu!!!
C. Bermadu
Nasr Zaid tidak membenarkan mereka yang mengingkan kawin melebihi satu orang isteri, dan ini jelas sangat bertentangan dengan ayat al-Quran dan sunnah rasulullah saw. Mari kita dengarkan pendapatnya mengenai al-Quran dalam surat al Nisa ayat ke 3 :
Artinya : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat”. 
Nasr Abu Zaid menyatakan bahwa berpoligami tidak boleh dilakukan, melainkan dalam keadaan dua perkara. Pertama dalam keadaan darurat dan yang kedua hendaklah yang akan dijadikan madu itu mereka perempuan yang berstatus yatim piatu.
D. Memakan riba
Nasr Abu Zaid berpandangan bahwa umat Islam dibenarkan untuk memakan riba. Dia telah menafsirkan surat al-Baqarah ayat ke 279 :
Artinya: “Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.
Nasr Abu Zaid berpendapat bahwa riba yang diharamkan didalam Islam adalah riba yang disebabkan mendapatkan keuntungan yang terlalu berlebih-lebihan melebihi modal utama (dalam artian kalau tidak berlebih-lebihan tidak mengapa untuk memakan riba-pen). 
Manakala rasulullah saw yang diutus sebagai pengejawentahan keatas ayat-ayat Allah swt (al-Quran) telah menjelaskan didalam hadis yang diriwayatkan oleh imamaa al-muhaddisiin Bukhariy dan Muslim akan haramnya memakan riba, tidak kira sedikit ataupun banyak. Walaupun ada ayat yang hampir menyerupai pendapat Nasr Abu Zaid agar tidak berlebih-lebihan dalam memakan harta riba seperti yang tertera didalam surat Ali Imran ayat ke 130 :
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda, dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.
Tetapi ayat tersebut telah dimansuhkan oleh ayat-ayat pengharaman memakan riba seperti para surat al-Baqarah ayat ke 275 – 276, kemudian bagi mereka yang masih memakan riba maka Allah swt dan rasulNya telah mengumumkan perang terhadap mereka seperti yang tertera didalam surat al-Baqarah ayat ke 278 – 279.
Benar, bahwa disana ada beberapa ulama yang berpendapat tidak mengapa untuk memakan riba, dengan mengemukan dalil-dalil ‘aqliy. Tetapi dalam urusan agama dan sudah jelas akan nash-nashnya, maka kita dalam mengambil sebuah hukum terhadap satu perkara, berpegang kepada prinsip yang disampaikan oleh Dr. Yusuf al-Qardhawiy bahwa setiap urusan yang berkaitan dengan urusan agama kita hanya berasaskan nash-nash al-Quran dan sunnah rasulullah saw. Perkataan ataupun pendapat manusia jika bertentangan dengan nash-nash mestilah ditinggalkan!!!
E. Zakat pertanian
Nasr menjelaskan dalam kitab tafsirnya keatas surat al-An’aam ayat ke 141: 
Artinya: “dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin”.
Menurutnya bahwa kadar zakat pertanian dapat ditentukan oleh seorang pemilik sesuai dengan keadaan semasa. 
Para ulama mazahib al-Arba’ah bahwa zakat pertanian jika ianya disiram dengan air hujan maka kadarnya adalah 1/10, manakala jika tanaman itu disiram dengan menggunakan tenaganya ataupun dengan alat seperti mesin ataupun hewan, maka kadar zakatnya adalah 1/5. Pendapat ini selaras dengan hadis rasulullah saw yang diriwayatkan didalam kitab-kitab sahih, masanid dan sunan dari berbagai sanad. Pendapat untuk menentukan kadar zakat itu didasarkan keatas kehendak pribadi merupakan kesombongan dan tindakan kriminal keatas ketentuan Allah dan rasulNya. 
F. Masharif zakat
Ketika Nasr membaca ayat ke 60 dari surat al-Taubah :
Artinya : “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Nasr Abu Zaid merujukkan makna riqab pada ayat diatas adalah setiap muslim yang hidup pada zaman ini, oleh karena itu setiap muslim wajib untuk memerdekakan saudara-saudaranya dari perbudakan.
Disini kita tidak mengetahui secara terperinci apa yang dimaksudkan oleh Nasr dengan pernyataannya itu. 
Bagaimana umat ini bisa dikatakan hidup didalam perbudakan? Kalaulah yang dimaksudkan adalah perbudakan hawa nafsu maka bukan zakat jawabannya dan jikalah ia merupakan perbudakan pemikiran, maka bukan pula zakat jawabannya, manakala kalau umat Islam ini menjadi budak kepada Barat, maka umat Islam tidak demikian keadaannya, akan tetapi budaya Barat telah menjajah pemikiran dan gaya hidup umat Islam hari ini, dan ini tidak dapat dikatakan satu perbudakan yang dimaksudkan didalam ayat tadi sehingga membolehkan diri mereka untuk menerima zakat.
G. Thalak (Perceraian)
Didalam perkara perceraian, Nasr Abu Zaid memiliki pandangan yang berbeda dengan pandangan-pandangan para ulama dan salaf shalih. Dia berpendapat bahwa perceraian tidak terjadi melainkan jika disebabkan perkara yang merosak tatanan keluarga dan hanya disebabkan oleh isteri. 
Perkara thalak atau perceraian sudah semestinya sebagai satu musibah yang melanda sebuah keluarga, karena dengannya terlerailah ikatan perkawinan yang telah terjalin yang berakibatkan kepada bebanan jiwa yang akan diderita oleh setiap anggota keluarga bahkan masyarakat disekitarnya. 
Islam tidak menggalakkan umatnya bercerai, bahkan ayat-ayat al-Quran berkali-kali mengingatkan umat ini agar senantiasa memperbaiki hubungan sesama suami isteri. Seperti yang dijelaskan pada surat al-Nisa’ ayat ke 19 :
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. 
Demikian pula dalam mengekalkan hubungan mesra antara anggota keluarga, Allah swt mengajarkan kita untuk senantiasa berdoa seperti yang tertera didalam surat al-Furqan ayat ke 74. Ayat ini juga merupakan satu sindiran bagi umat Islam agar terus menjaga keharmonian hubungan antara anggota keluarga.
Artinya : “Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”.
Pada surat Ali Imran ayat ke 14 pula, Allah swt telah menjelaskan bahwa pada hakikatnya menusia tidak menginginkan terjadinya perceraian bahkan berusaha untuk mengh dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).
Namun demikian Islam juga mensyariatkan perceraian jika perkara yang menyedihkan itu perlu. Tidak kira apakah ia disebabkan oleh pihak suami ataupun pihak isteri, karena pada hakikatnya disyariatkan menikah itu agar manusia dapat menegakkan syariat Islam melalui institusi keluarga, namun jika isntitusi keluarga itu sudah tidak dapat lagi menegakkan cita-cita tadi disebabkan nyusuz atau perbuatan curang dari salah satu pihak dan tidak ada jalan yang terbaik melainkan cerai, maka disinilah perceraian disyariatkan. 
Islam telah memberikan wewenang kepada pihak suami untuk menceraikan isterinya dengan melafaskan perkataan cerai kalau dia mampu berkata-kata dan dengan isyarat anggota tubuh ataupun tulisan kalau dia seorang yang bisu. Bagi pihak perempuan pula dia diberikan hak khul’ah melepaskan suami mereka yang curang dengan mengembalikan mahar yang telah diberikan oleh pihak suami kepadanya saat akad nikah dibacakan. 
Jadi tidak benar kalau perceraian itu hanya dilakukan atas sebab kecurangan dari pihak isteri saja, bahkan perbuatan yang demikian itu merupakan satu penindasan keatas kaum wanita dan kezaliman yang nyata. Islam menentang pemahaman Barat yang beranggapan bahwa para wanita itu adalah budak yang bisa dilakukan dengan semena-mena dan sesuka hati. Islam juga menyanggahi pemahaman bahwa wanita itu adalah makhluk kelas dua. Islam menyatakan bahwa kaum wanita itu adalah saudara kepada laki-laki dan laki-laki merupakan saudara kepada kaum wanita. Islam telah memberikan kaum wanita kesetaraan derajat dengan kaum laki-laki dengan kadar kemampuan yang mereka miliki. 
Islam telah memberikan laluan kepada kaum wanita untuk melepaskan suami-suami mereka yang bertindak curang dan keji. Demikianlah yang disepakati oleh seluruh ulama dan salaf salih.
VII. Penutup
Daripada ‘Aisyah ra bahwa rasulullah saw telah bersabda : “Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan kami (agama ini) dengan perkara yang bukan daripadanya, maka ia tidak dapat diterima atau ditolak”. (H.R. Ahmad pada musnadnya). 
Disebutkan pada kitab Dalail al-Nubuwah li al-Baihaqiy bab Maa Jaa a Fi Na’yi al-Nabiy saw daripada Urwah bin Zubair ra bahwa Rasulullah saw bersabda : “Dengarlah wahai umat manusia akan perkataanku, maka sesungguhnya telah aku tinggalkan padamu satu perkara, yang selama kamu berpegang teguh kepadanya, sekali-kali kamu tidak akan tersesat selamanya, dua perkara yang sangat jelasnya: kitabullah (al-Quran) dan sunnah nabimu”.
Akhirnya cukuplah para ulama menghukum kafir dan murtad keatas Nasr Abu Zaid serta dihalalkan darahnya juga orang-orang yang bersamanya. Allah berfirman didalam surat al-Nisa ayat ke 65: 
Artinya : “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”.
Betapa aneh dan dungunya mereka para pemikir liberal itu, walaupun mereka telah dengan suka rela membuang dan mengetepikan hadis rasulullah saw serta membusungkan dada dihadapan ayat-ayat Allah yang nyata. Tetapi jika dijatuhan keatas mereka dakwaan sebagai “MURTAD” dan “KAFIR” maka mereka dengan mata yang memerah, seraya berkata dengan marah-marah “KAMI TIDAK KAFIR!!!” kemudian mereka dengan grasa-grusu seperti orang yang sedang dikejar anjing gila bersegera mencari-cari hadis yang dapat menyelamatkan topeng mereka yang terbentang dengan kekafiran. Demikian hadis itu : Daripada Ibnu Umar ra beliau berkata, telah bersabda rasulullah saw : “Barangsiapa yang mengatakan kepada sudaranya hai kafir, maka salah satu dari mereka menanggung perkataannya itu”. (Bukhari, Muslim dan Ahmad)
Al-Ustaz al-Syaikh ‘Atiyyah Saqr menjelaskan pada kitab Fatawa al-Azhar bab Wa Man Lam Yahkum Bimaa Anzala Allah, bahwa hadis diatas dikenakan keatas mereka yang memanggil saudaranya dengan perkataan “kafir” dengan tidak ada alasan yang nyata yang menguatkan dakwaannya itu, akan tetapi jika ada alasan yang nyata yang menguatkan dakwaan itu, seperti mengingkari ataupun mempermainkan hukum-hukum Allah swt, maka merekalah yang dijatuhi hukum kafir atau murtad. Demikian yang disepakati oleh para mufassirin secara keseluruhan. 
Kita ambil sebagai contoh seorang mukmin thaa’i, ‘aabid, shahaabiy, uulaa al-khilafah fi al-Islam Abu Bakr al-Shiddiq ra telah memerangi mereka yang enggan membayar zakat setelah kemangkatan nabi Muhammad saw. Ini adalah merupakan bukti jelas dan gambaran serta permisalan yang sangat nyata akan dakwaan kafir serta tindakan yang perlu diambil keatas mereka itu. 
Kita berhak menghukum mereka yang membuat hukum sendiri yang bertentangan dengan ajaran-ajaran syari’at yang didasarkan keatas al-Quran dan al-sunnah serta mempermainkan hukum-hukum Allah dan rasulNya sebagai kafir. Karena demikianlah sikap orang-orang kafir terhadap kitab Allah dan sunnah rasulNYa, mentahrifkan ayat-ayatnya, memandang rendah kepadanya dan mempermainkan hukum-hukumnya, bahkan menginjak-nginjak kitabNya.
Begitu pula penjelasan Imam Ibnu Taimiyah pada kitabnya Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah bab al-Iman Qaul wa ‘Amal. 
Pendapat mereka yang menyatakan bahwa hak mengkafirkan seseorang itu adalah hak prerogatif Allah, adalah merupakan hujjah yang dibuat-buat atau takalluf yang tidak dapat diterima oleh akal yang sehat, karena Allah swt tidak mungkin untuk turun kemuka bumi kemudian mengatakan demikian : “hai kamu sudah kafir, hai kamu melakukan kesalahan!!!”. 
Apa mungkin kita mengharapkan Allah swt sendiri turun ke muka bumi untuk mengadili serta menentukan hukum keatas umat manusia seperti yang dimaksudkan oleh para pemikir liberal itu??? Mustahil demikian adanya dan mereka tahu itu!!!. 
Allah swt telah menyempurnakan agama ini dengan diutus olehNya seorang nabi akhir zaman untuk mengaplikasikan hukum-hukumNya yang tertera sangat jelas didalam al-Quran, kemudian beliau Muhammad saw menafsirkannya secara qawliyah maupun fi’liyah bersama para sahabat yang diridhai Allah swt, dan membumikan ajaran-ajarannya seterusnya mengokohkannya. Maka cukuplah bagi kami untuk berpegang teguh kepada kedua tali yang kuat itu (al-Quran dan al-sunnah) sebagai panduan. Berdasarkan kedua tali ini pula kita dapat mengatakan dengan penuh kesungguhan serta keyakinan bahwa seseorang itu telah tersesat, kafir, murtad ataupun masih berada pada jalan akidah yang benar!!! Walaupun para pemikir liberal itu membenci.
Demikianlah apa yang dapat disampaikan oleh penulis pada kesempatan kali ini, penulis tidak bermaksud merendahkan siapapun dalam tulisan ini, melainkan mengajak para pembaca untuk menyegarkan kembali pemikiran-pemikiran yang dilontarkan oleh dedengkot pemikir liberal ini, agar kita dapat merenungkan baik atau buruknya dan kemudian dapat mengambil satu kesimpulan serta pelajaran.
Penulis berpesan kepada dirinya sendiri dan kepada para pembaca yang budiman, sudah semestinya bagi kita yang meyakini adanya hari kebangkitan dan kemudian pembalasan, untuk memperhatikan apa yang telah disumbangkan oleh dirinya untuk kehidupan akheratnya kelak. Karena bagi keyakinan orang-orang yang beriman, bahwa segala tindakan dan tingkahlaku pada kehidupan dunia ini ada kaitannya dengan kehidupan akherat kelak. Oleh karena demikian barangsiapa yang menanam padi dimuka bumi ini, maka padi juga yang dituai diakhirat kelak, namun sesiapa yang menebarkan buih di atas muka bumi ini, maka buih pula yang dia kaut diakherat nanti. 
Disebutkan didalam Fihris al-Nasai kitab al-zakat bab al-tahriid ‘alaa al-shadaqah dan Fihris musnad Ahmad, Musnad al-Kuufiyiin dari hadis Jariir bin Abdullah daripada Rasulullah saw, bahwa Rasulullah saw telah bersabda : “Barang siapa yang mengajarkan satu kebaikan maka baginya pahalanya dan pahala orang-orang yang mengerjakannya, dan barangsiapa yang mengajarkan kejahatan (kebathilan-pent) maka baginya dosanya dan dosa orang-orang yang beramal dengannya”. 
Allah berfirman didalam surat al-Ra’ad ayat ke 17 :
Artinya : “Allah Telah menurunkan air (hujan) dari langit, Maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengambang. dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan”.
Maha benar Allah tatkala Dia berfirman :
Artinya : “Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman”. (Q.S. Al-An’aam : 125)
Oleh karena yang demikian itu betapa banyak orang-orang menjadi terbuka hatinya untuk memeluk agama Islam kemudian mentaati segala syariatnya dengan penuh keinsafan serta kekhusyukan, hanya karena melihat betapa teraturnya tatanan alam semesta ataupun karena dia menilik anggota tubunya yang sempurna, namun berapa banyak pula dari mereka yang diberikan petunjuk yang nyata serta ilmu pengetahuan namun nafsunya juga yang dia junjung yang akhirnya menyebabkan jiwanya sempit dan nafasnya sesak untuk menerima kebenaran yang membayang-bayangi dirinya.
Marilah kita berdoa dengan doa Rasulullah saw daripada Anas ra beliau berkata: Bahwa Rasulullah saw banyak mengatakan “Wahai yang memutar balikkan hati, tetapkan hati ini keatas agamaMU”. (H.R. Jama’ah)
Al-Faqiir Ila Hidayat Rabbihi 

Selasa, 15 Juli 2008

“Karena aku berpkir, maka aku Muslim” (Nasr Hamid)

Nasr Hamid Abu Zaid
“Karena aku berpkir, maka aku Muslim” (Nasr Hamid)
Naser Hamid Abu Zaid merupakan salah satu pemikir kontemporer yang banyak menyita perhatian, baik dari kalangan pemikir Liberal maupun oleh kalangan konserpatif. Untuk kalangan Liberal, pemikiran Abu Zaid merupakan pemikiran yang menjadi sumber atau presfektip baru dalam melihat sebuah permasalahan (khususnya dalam membaca teks Al-Qur’an), namun bagi kaum konserpatif pemikiran abu Zaid merupakan pemikiran yang nyeleneh dan berbahaya karena dianggap akan menjadi “pengganggu” “iman” kaum muslim.
Abu zaid merupakan salah seorang pemikir Mesir yang lahir pada 10 Juli 1943 di Kuhafah. Semasa hidupnya Nasr Hamid Abu Zaid pernah di ciduk oleh aparat keamanan Mesir saat berumur 12 Tahun dikarenakan keterlibatanya dengan jama’ah Ikhwan al Muslimun yang diharamkan oleh Gamal Abdul Naser bersama-sama para pemimpin gerakan Ikhwan.
Abu Zaid menempuh studi di Universitas Kairo fakultas bahasa Arab dan Adab, selesai pada tahun 1872, kemudian menyelesaikan program masternya pada tahun 1977 pada fakultas Dirasat Islamiyah, dan mendapat gelar doktor tahun 1981.
Setelah menyelesaikan studinya Abu Zaid menjadi pengajar dibeberapa perguruan tinggi di Mesir, sebelum akhirnya promosi guru besarnya dalam bidang tafsir di eksekusi karena dianggap menyimpang dari ortodoksi yang telah pakem. Tidak hanya penolakan terhadap pengangkatan guru besar saja yang dialami oleh Abu Zaid, melainkan di tambah dengan dikeluarkanya fatwa murtad dari Islam oleh pengadilan dan Istrinya (Dr. Ibtihal Yunis) dipaksa cerai dengan abu Zaid, dengan dalih muslimah haram menikah dengan non muslim. Akhirnya karena banyaknya perlakuan tidak menyenangkan Abu Zaid meninggalkan Mesir menuju Belanda namun masih tetap berkewarganegaraan Mesir.
Pemikiran terbuka memang belum familiar di Mesir, namun seperti ditandaskan oleh Abu Zaid, “eksekusi pemurtadan terhadap dirinya adalah urusan politik.” Ujarnya. Abu Zaid mensinyalir bahwa penolakan pengangkatan dirinya dari gelar Profesor; dikeluarkanya fatwa murtad; serta diponis bercerai dengan istrinya, itu semua karena problem politik. “penyebab vonis itu adalah isu politik. Bukan karena karya saya. Buku saya sudah terbit sejak 1990. vonis itu baru muncul tahun 1993” tandasnya.
Kritik-kritik yang dilontarkan oleh Abu Zaid kepada ulama-ulama yang berlindung dalam selimut agama ternyata menuai masalah. Salah satu ulama besar yang tak luput dari kritikan Abu zaid adalah Prof. Dr. Abdu al-Sabur Syahin Imam masjid Amr ibn Ash. Syahin mengangkat isu dengan mempertentangkan pemikiran Abu Zaid dengan memparadoksikan kalangan Islamis di satu sisi dan orang-orang liberal di sisi yang lain. Kalangan Islamis ingin mengembangkan isu penyimpangan pandangan Nasr mengenai pembacaan teks ini dan mengangkatnya ke pengadilan. 
Abu Zaid mengatakan bahwa “kelompok mereka menggunakan hukum untuk memecahkan masalah politik. Sejak itulah saya mengatakan ini adalah keputusan Politik”. Bila dirunut lebih jauh, permasalahan yang menimpa Abu Zaid ini tidak akan pernah lepas dari siapapun yang memiliki pandangan berbeda dari mainstream. Abu Zaid menganggap bahwa ortodoksi telah mengekang kebebasan bahkan kemerdekaan berpikir.
Pandangan Abu Zaid yang dianggap paling menyimpang dari Ortodoksi adalah keberanianya mengungkapkan pandangan-pandangan baru mengenai identitas al-Qur’an yang dianggap oleh Abu Zaid sebagai produk budaya Arab, dan pandangan lain mengenai ihwal kenabian yang dianggap suci oleh ortodoksi.
Selama ortodoksi masih dikuasai oleh kalangan esklusif, maka pandangan-pandangan yang bertentangan dengan pakem yang telah ada akan senantiasa dijegal bahkan diesklusi keberadaanya dengan dalih “menjaga iman” orang muslim. Bahkan ortodoksi agama, baik Islam, Kristen, maupun Yahudi pada dasarnya dibangun untuk mempertahankan ajaran-ajaran yang mapan dari pengaruh heretisme, yakni pemikiran-pemikiran yang dianggap menyimpang. Cap heretisme diberikan kepada pembaru dan pemikir yang memiliki pandangan berbeda dari ortodoksi. (Luthfie, 2007:236)
Ada sebuah modifikasi Lutfie atas fenomena pengapiran yang marak terjadi dewasa kini, yakni : “Pengafiran di Era Pemikiran” pandangan tersebut merupakan sebuah modifikasi judul buku Nasr Hamid Abu Zayd “Pemikiran di Era Pengafiran” (al-takfir fi al-zaman al-takfir). (Luthfie, 2007 : 233). Benarkah hal itu terjadi sekarang?
(oleh : Yusep Munawar Sofyan)

Rabu, 09 Juli 2008

UJIAN AKHIR SEMESTER GENAP 2007-2008

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG
FAKULTAS AGAMA ISLAM
=====================================
UJIAN AKHIR SEMESTER GENAP 2007-2008
Mataujian : STATISTIK PENDIDIKAN
Semester/Kls : II PAI / A,B Kelas Khusus
Waktu : 90 menit
Sifat : Buku Terbuka
Penguji : M. Ja’far Nashir, M.Ag

KERJAKAN DARI SOAL LATIHAN YANG TELAH DI COPY :
No. 1, 2, 27, & 29 dikerjakan saat UAS
No.28, 30, 31, & 32 dikumpulkan 2 hari setelah UAS

J
SELAMAT MENGERJAKAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG
FAKULTAS AGAMA ISLAM
=====================================
UJIAN AKHIR SEMESTER GENAP 2007-2008
Mataujian : METODOLOGI PENGAJARAN PAI
Semester/Kls : II PAI / A,B Kelas Khusus
Waktu : 90 menit
Sifat : Buku Terbuka
Penguji : M. Ja’far Nashir, M.Ag

1. Jelaskan! apa saja yang mempengaruhi pemilihan metode, dalam mengajar PAI di MTs & MA?
2. Metode apa saja yang paling baik untuk mengajar PAI di MTs dan MA? Jelaskan kenapa?
3. Buatlah outline tentang metodologi pengajaran Agama ( buat berdasarkan tugas presentasi masing-masing)
4. Tulis metode apa saja yang sudah saudara hafalkan (meliputi definisi, kelebihan & kekurangan)?