Photobucket

Rabu, 05 Maret 2008

Postmodernisme (Sebuah Gerakan Kritik Terhadap Modernisme)

1
POSTMODERNISME
(Sebuah Gerakan Kritik Terhadap Modernisme)
Oleh : M. Ja’far Nashir, M.A
A. APA ITU POSTMODERNISME ?
Istilah Postmodernisme sangat membingungkan, bahkan meragukan.
Asal usulnya adalah dari wilayah seni : Musik, seni rupa, roman dan novel,
drama, fotrografi, arsitektur. Dan dari situ merembet menjadi istilah mode
yang dipakai oleh beberapa wakil dari beberapa ilmu.1 Dan akhirnya istilah itu
oleh filosof Prancis, Jean-Francois Loyotard, dimasukkan ke dalam kawasan
filsafat dan sejak itu diperjualbelikan sebagai sebuah “isme” baru.
Istilah “Postmodernisme” membingungkan karena memberikan kesan
bahwa kita berhadapan dengan sebuah aliran atau paham tertentu, seperti
Maxisme, eksistensialisme, kritisisme, idealisme, dan lain-lain. Padahal para
pemakai label itu – biasanya mereka tidak berbicara tentang
“postmodernisme”, melainkan tentang “pemikiran pascamodern”, seperti
misalnya Rorty atau Derrida – amat beraneka cara pemikirannya. Di
Indonesia, sesuai kebiasaan, kita malah malas mengungkapkan seluruh kata
“postmodernisme” dan menggantikannya dengan “posmo”, sesuai dengan
gaya berfikir mitologis dan parsial dimana yang penting simbolnya saja,
bukan apa yang sebenarnya dimaksud.2
1 Bambang Sugiharto, Postmodernisme : Tantangan bagi Filsafat, Yogyakarta, Kanisius, 1996.
hlm. 23.
2 Lihat Magnis – Suseno, 1984. hlm. 92
2
Padahal pemikiran “posmo” itu ada banyak dan tidak ada kesatuan
paham. Namun benar juga, adasesuatu yang mempersatukan pendekatanpendekatan
itu, atau lebih tepatnya ada dalam filsafat modern salah satu
kecenderungan yang muncul dalam bentuk-bentuk berbeda, namun ada
kesamaan wujudnya, dan barangkali itulah kesamaan segala macam gaya
berfikir yang ditemukan unsur “posmo”-nya itu.
Dapat dikatakan bahwa “postmodernisme” lebih merupakan sebuah
suasana, sebuah naluri, sebuah kecenderungan daripada sebuah pemikiran
eksplisit. Kecenderungan itu lalu memang mendapat ekspresi melalui pelbagai
sarana konseptual yang sangat berbeda satu sama lian. Sehingga pendekatan
“postmodernisme” dapat ditentukan, misalnya, dalam Pascal (+1662), Vico
(+1744), Kant (+1804), Hegel (+1831), Stirner (+1856), Nietzche (+1900),
Heidegger (+1976), Popper (+1994), dan Adorno (+1969). Adalah jasa istilah
“postmodernisme” bahwa dengan demikian kita memperoleh sebuah payung
konseptual untuk melihat kesamaan di antara mereka itu yang umumnya justru
mencolok ketidaksanaannya.3
B. CIRI-CIRI POSTMODERNISME
Akbar S. Ahmed4 terdapat delapan karakter sosiologis postmodernisme
yang menonjol, yaitu :
3 Frans Magnis Suseno, Pijar-Pijar Filsafat, Yogyakarta, Kanisius, 2005. hlm. 229.
4 Akbar S. Ahmed, Postmodernisme and Islam, 1992
3
Satu, timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap proyek
modernitas; memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transenden
(meta-narasi); dan diterimanya pandangan pluralisme relativisme kebenaran.
Dua, meledaknya industri media massa, sehingga ia bagaikan
perpanjangan dari sistem indera, organ dan saraf kita, yang pada urutannya
menjadikan dunia menjadi terasa kecil. Lebih dari itu, kekuatan media massa
telah menjelma bagaikan “agama” atau “tuhan” sekuler, dalam artian perilaku
orang tidak lagi ditentukan oleh agama-agama tradisional, tetapi tanpa disadari
telah diatur oleh media massa, semisal program televisi.
Tiga, munculnya radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini
muncul diduga sebagai reaksi atau alternatif ketika orang semakin meragukan
terhadap kebenaran sains, teknologi dan filsafat yang dinilai gagal memenuhi
janjinya untuk membebaskan manusia, tetapi sebaliknya, yang terjadi adalah
penindasan.
Empat, munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas
dan apresiasi serta keterikatan rasionalisme dengan masa lalu.
Lima, semakin menguatnya wilayah perkotaan (urban) sebagai pusat
kebudayaan, dan wilayah pedesaan sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga
berlaku bagi menguatnya dominasi negara maju atas negara berkembang.
Ibarat negara maju sebagai “titik pusat” yang menentukan gerak pada
“lingkaran pinggir”.
4
Enam, semakin terbukanya peluang bagi klas-klas sosial atau
kelompok untuk mengemukakan pendapat secara lebih bebas. Dengan kata
lain, era postmodernisme telah ikut mendorong bagi proses demokratisasi.
Tujuh, era postmodernisme juga ditandai dengan munculnya
kecenderungan bagi tumbuhnya eklektisisme dan pencampuradukan dari
berbagai wacana, potret serpihan-serpihan realitas, sehingga seseorang sulit
untuk ditempatkan secara ketat pada kelompok budaya secara eksklusif.
Delapan, bahasa yang digunakan dalam waacana postmodernisme
seringkali mengesankan ketidakjelasan makna dan inkonsistensi sehingga apa
yang disebut “era postmodernisme” banyak mengandung paradoks5.
Sedangkan menurut Pauline Rosenau mengatakan bahwa,
postmodernisme menganggap modernisme telah gagal dalam beberapa hal
penting antara lain6 :
Pertama, modernisme gagal mewujudkan perbaikan-perbaikan
dramatis sebagaimana diinginkan para pedukung fanatiknya.
Kedua, ilmu pengetahuan modern tidak mampu melepaskan diri dari
kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan otoritas seperti tampak pada
preferensi-preferensi yang seringkali mendahului hasil penelitian.
5 paradoks yang digarisbawahi Ahmed antaralain ialah : masyarakat mengajukan kritik pedas
terhadap materialisme, tetapi pada saat yang sama pola hidup konsumerisme semakin menguat;
masyarakat bias menikmati kebebasan individual yang begitu prima yang belum pernah terjadi
dalam sejarah, namun pada saat yang sama peranan Negara bertambah kokoh; dan masyarakat
cenderung ragu terhadap agama, tetapi pada saat yang sama terdapat indikasi kelahiran metafisika
dan agama.
6 Pauline M. Resenau, Postmodernism and Social Sciences : Insight, Inroads, and Intrusion,
Princeton; Princeton University Press, 1992. hlm. 10
5
Ketiga, ada semacam kontradiksi antara teori dan fakta dalam
perkembangan ilmu-ilmu modern.
Keempat, ada semacam keyakinan – yang sesungguhnya tidak berdasar
– bahwa ilmu pengetahuan modern mampu memecahkan segala persoalan
yang dihadapi manusia dan lingkungannya; dan ternyata keyakinan ini keliru
manakala kita menyaksikan bahwa kelaparan, kemiskinan, dan kerusakan
lingkungan terus terjadi menyertai perkembangan ilmu pengetahuan dan
tehnologi. Dan
Kelima, ilmu-ilmu modern kurang memperhatikan dimensi-dimensi
mistis dan metafisik eksistensi manusia karena terlalu menekankan pada
atribut fisik individu.
Postmodernisme muncul untuk “meluruskan” kembali interpretasi
sejarah yang dianggap otoriter. Untuk itu postmodernisme menghimbau agar
kita semua berusaha keras untuk mengakui adanya identitas lain (the other)
yang berada di luar wacana hegemoni.
Postmodernisme mencoba mengingatkan kita untuk tidak terjerumus
pada kesalahan fatal dengan menawarkan pemahaman perkembangan
kapitalisme dalam kerangka genealogi (pengakuan bahwa proses sejarah tidak
pernah melalui jalur tunggal, tetapi mempunyai banyak “sentral”)
Postmodernisme mengajak kaum kapitalis untuk tidak hanya
memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan peningkatan produktivitas dan
keuntungan saja, tetapi juga melihat pada hal-hal yang berada pada alur vulgar
material yang selama ini dianggap sebagai penyakit dan obyek pelecehan saja.
6
Postmodernisme sebagai suatu gerakan budaya sesungguhnya
merupakan sebuah oto-kritik dalam filsafat Barat yang mengajak kita untuk
melakukan perombakan filosofis secara total untuk tidak lagi melihat
hubungan antar paradigma maupun antar wacana sebagai suatu “dialektika”
seperti yang diajarkan Hegel. Postmodernisme menyangkal bahwa
kemunculan suatu wacana baru pasti meniadakan wavana sebelumnya.
Sebaliknya gerakan baru ini mengajak kita untuk melihat hubungan antar
wacana sebagai hubungan “dialogis” yang saling memperkuat satu sama lain.
Berkaitan dengan kapitalisme dunia misalnya, Postmodenisme
menyatakan bahwa krisis yang terjadi saat ini adalah akibat keteledoran
ekonomi modern dalam beberapa hal, yaitu :
(1) kapitalisme modern terlalu tergantung pada otoritas pada teoretisi sosialekonomi
seperti Adam Smith, J.S.Mill, Max Weber, Keynes, Samuelson,
dan lain-lain yang menciptakan postulasi teoritis untuk secara sewenangwenang
merancang skenario bagi berlangsungnya prinsip kapitalisme;
(2) modernisme memahami perkembangan sejarah secara keliru ketika
menganggap sejarah sebagai suatu gerakan linear menuju suatu titik yang
sudah pasti. Postmodenisme muncul dengan gagasan bahwa sejarah
merupakan suatu genealogi, yakni proses yang polivalen, dan
(3) erat kaitannya dengan kekeliruan dalam menginterpretasi perkembangan
sejarah, ekonomi modern cenderung untuk hanya meperhitungkan aspekaspek
noble material dan mengesampingkan vulgar material sehingga
berbagai upaya penyelesaian krisis seringkali justru berubah menjadi
7
pelecehan. Inkonsistensi yang terjadi adalah akibat rendahnya empati
para pembuat keputusan terhadap persoalan-persoalan yang mereka
hadapi. Postmodernisme bukanlah suatu gerakan homogen atau suatu
kebulatan yang utuh. Sebaliknya, gerakan ini dipengaruhi oleh berbagai
aliran pemikiran yang meliputi Mrxisme Barat, struktualisme Prancis,
nihilisme, etnometodogi, romantisisme, popularisme, dan hermeneutika.
Heterogenitas inilah yang barangkali menyebabkan sulitnya
pemahaman orang awam terhadap postmodernisme. Dalam wujudnya yang
bukan merupakan suatu kebulatan, postmodernisme tidak dapat dianggap
sebagai suatu paradigma alternatif yang berpretensi untuk menawarkan solusi
bagi persoalan-persoalan yang ditimbulkan oleh modernisme, melainkan lebih
merupakan sebuah kritik permanen yang selalu mengingatkan kita untuk lebih
mengenali esensi segala sesuatu dan mengurangi kecenderungan untuk secara
sewenang-wenang membuat suatu standar interpretasi yang belum tentu benar.
C. KRITIK TERHADAP POSTMODERNISME
Menurut Magnis Suseno,7 setidaknya ada tiga kelemahan
“postmodernisme”, yaitu :
1) “Postmodernisme” buta terhadap kenyataan bahwa banyak cerita kecil
menggandung banyak kebusukan.
2) “Postmodernisme” tidak membedakan antara ideologi, disatu pihak; dan
prinsip-prinsip universal etika terbuka, dilain pihak.
7 Frans Magnis Suseno, Op_Cit, hlm. 231-232.
8
3) Kebutaan ketiga “Postmodernisme” adalah bahwa tuntutan untuk
menyingkirkan cerita-cerita besar demi cerita-cerita kecil sendiri
merupakan cerita besar dengan klaim universal.
Sedang menurut Ariel Heryanto8 (dikutip dari seminar
“Pascamodernisme :Relevansinya Bagi Hak-Hak Asasi Manusia Indonesia
Mutakhir” di Salatiga, 8-9 Oktober 1993. mengatakan bahwa : cukup banyak
pendapat bahwa postmodernisme tidak perlu diperhatikan karena dianggap
tidak ada yang baru darinya. Ada dua alasan yang sering dikemukakan.
Postmodernisme dianggap sama dengan relativisme atau sekedar “metode
kritik” yang sudah dikerjakan hampir semua isme lainnya. Bagi pihak lain
postmodernisme dianggap sudah lama hadir dalam kehidupan sehari-hari,
dianggap terlalu biasa dan tak pantas mendapatkan perhatian khusus.
Postmodernisme juga diserang karena dua alasan lain yang saling
bertolak-belakang. Disatu pihak ia dianggap berbahaya, karena dituduh
bersikap terlalu luwes, penganjur “re;ativisme” yang ekstrem, terlalu permisif,
membiarkan dan membenarkan apa saja, tanpa batas. Postmodernisme
dianggap mengobarkan semangat anything goes (“apa pun saja boleh”).
Dipihak lain postmodernisme diserang, kadang-kadang oleh pengkritik yang
sama, justru karena dianggap bersikap terlalu sempit.
D. KESIMPULAN DAN PENUTUP
8 Jurnal Kebudayaan KALAM, Postmodernisme di Sekitar Kita, Edisi I, 1994. hlm. 82-83
9
10
DAFTAR PUSTAKA
Akbar S. Ahmed, Postmodernisme and Islam, 1992
Bambang Sugiharto, Postmodernisme:Tantangan bagi Filsafat, Yogyakarta,
Kanisius, 1996.
Frans Magnis Suseno, Pijar-Pijar Filsafat, Yogyakarta, Kanisius, 2005.
Jurnal Kebudayaan KALAM, Postmodernisme di Sekitar Kita, Edisi I, 1994
Lihat Magnis – Suseno, 1984.
Pauline M. Resenau, Postmodernism and Social Sciences : Insight, Inroads, and
Intrusion, Princeton; Princeton University Press, 1992.

Tidak ada komentar: